Sunday 5 November 2017

Tetap Bersyukur

*Based On True Story*

Malam itu, waktu menunjukkan pukul setengah 12 malam dan entah kenapa tiba-tiba perut terasa lapar (lagi).
Setelah dengan pertimbangan, akhirnya saya putuskan untuk keluar cari makanan.
Dan tujuan saya adalah mencari nasi atau mie goreng karena biasanya di tengah malam begini yang ada hanya itu.

Setelah berjalan beberapa saat, saya menemukan sebuah warung nasi goreng di pinggir jalan yang sepi. Penjual yang lain yang sudah saya lewati rata-rata ada beberapa pembeli dan saya malah mengantri. Akhirnya saya memutuskan untuk mampir di warung itu.

Tampak dari kejauhan, suami istri penjual nasi goreng itu sedang bersenda-gurau sembari tertawa kecil.

Singkat cerita, saya memesan 1 porsi nasi goreng dan 1 porsi mie goreng untuk dimakan di rumah.
Sang Bapak sangat gesit melayani pesanan saya walaupun usianya sudah tidak bisa dibilang muda lagi.
Sayangnya sang Bapak tidak sempat saya foto.

Sembari menunggu pesanan saya jadi, saya memulai obrolan basa-basi dengan mereka.

"Gimana Pak, ramai ya Pak?", saya memulai obrolan.
"Alhamdulillah Mas." Sahut sang bapak sembari tersenyum.
"Alhamdulillah masnya pembeli pertama kami."

Gleeeeeek....pembeli pertama? Berarti dari tadi sepi tak ada yang beli?

"Emang bukanya jam berapa?".

"Buka dari seabis Maghrib Mas." Timpal si Ibu.

Masya Allah.. dari tadi sama sekali tidak ada pembeli yang datang tapi tak ada nampak wajah sedih atau murung di raut wajah mereka berdua.

"Namanya dagang ya gini Mas, kadang ramai sampai kewalahan, namun terkadang juga sepi banget." Ucap si Bapak sembari memainkan penggorengannya.

"Iya sih Pak, benar." Saya bingung mau jawab apa lagi.

"Mau bagaimanapun kondisinya, tetap  kami syukuri Mas." Timpal si Ibu.

"Kalaupun sepi, kami bersyukur karena kami sudah tidak terlalu lelah seperti waktu Bapaknya masih jualan keliling Mas. Alhamdulillah sekarang udah kuat sewa tempat ini, jadi Bapaknya tidak harus capek jalan keliling."

"Memangnya disini udah berapa lama Bu?".

"Sudah hampir 4 bulan ini Mas."
"Kalau dulu waktu Bapaknya masih keliling, saya tidak bisa bantuin Mas, kaki saya tidak kuat kalau jalan jauh, dikit-dikit kesemutan kaku. Kalau gini kan saya bisa bantuin Mas." Lanjut si Ibu.

"Dan Alhamdulillah ini gerobak dan kompornya sudah milik sendiri, kalau dulu saya sewa Mas." Timpal si Bapak.

"Jadi kalau misal jualan sepi, saya tidak bingung mikirin bayar sewa gerobak dan kompor. Belum lagi kalau pas kondisi hujan, saya sekarang sudah tidak perlu basah-basahan lagi Mas."

"Dan saya yakin Mas kalau rezeki itu sudah diatur oleh Allah dan tidak bakalan tertukar. Kita sebagai manusia berkewajiban untuk berusaha dan bertawakal serta jangan lupa untuk tetap bersyukur. Kalaupun sekarang sepi, saya yakin pasti Allah sedang menguji saya dan saya yakin juga Allah akan mengganti rezeki saya di lain hari."

Sedikit percakapan saya dengan suami istri penjual nasi goreng tersebut benar-benar serasa menampar saya secara telak.
Mereka tetap bisa ceria walaupun kondisi warungnya sepi. Mereka tetap bersyukur kepada Sang Penciptanya.
Sedangkan saya? Sepertinya saya lebih banyak mengeluhnya dibanding bersyukurnya.
Dan saya selalu merasa kurang, kurang dan kurang dengan apa yang saya dapat.

Sesungguhnya jika kamu bersyukur,  niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat
(QS. Ibrahim : 7).

Saturday 23 September 2017

Hidup itu Rezeki

Dulu saya pikir Sholat Dhuha dan membaca zikir pagi/surat al qur'an itu pembuka pintu rizki/rezeki dan dulu saya pikir, rizqi  berwujud uang, banyak order, banyak job, urusan kerjaan lancar, banyak tabungan, punya banyak aset disana-sini,
Intinya saat itu rejeki hanyalah Harta.

Setelah saya tahu apa makna rizqi/rezeki dalam Islam (sesuai yg tertera dalam Alquran dan hadits), ternyata saya salah besar.

Ternyata,
-Langkah kaki yg dimudahkan untuk hadir ke majelis ilmu, itu adalah rizqi.

- Langkah kaki yg dimudahkan untuk shalat berjamaah di masjid, adalah rizqi.

- Hati yg Allah jaga jauh dari iri, dengki, dan kebencian, adalah rizqi.

- Punya teman-teman yang sholeh/sholehah dan saling mengingatkan dalam kebaikan, itu juga rizqi.

- Saat keadaan sulit penuh keterbatasan, itu juga rizqi. Mungkin jika dalam keadaan sebaliknya, justru membuat kita kufur, sombong, bahkan lupa diri.

- Tubuh yang sehat, adalah rizqi. Bahkan saat diuji dengan sakit, itu juga bentuk lain dari rizqi karena sakit adalah penggugur dosa.

- Dan mungkin akan ada jutaan daftar lainnya bentuk2 rizqi yang kita tidak sadari.

Justru yang harus kita waspadai adalah ketika hidup kita berkecukupan, penuh dengan kemudahan dan kebahagiaan, padahal begitu banyak hak Allah yang belum atau tidak kita tunaikan...

Mari sebarkan kebaikan dan nikmati rizqi kita yg Allah tebarkan dimuka bumi dalam berbagai bentuk, syukuri karunia Nya.

Saling berbagi solusi
Saling berta'awun
Saling muhasabah mendekatkan diri pada sang pencipta.

Saturday 26 August 2017

Virus Hedonisme yang Merekat pada Kehidupan Kita.

Hedonisme, sebuah kalimat yang sepertinya sudah tidak asing di telinga kita. Hedon, berasal dari kata latin yaitu hedone yang artinya kesenangan. Sedangkan Hedonisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti sebuah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai sebuah tujuan hidup.

Orang-orang yang memiliki pandangan ini menganggap bahwa tujuan hidup mereka adalah untuk bersenang-senang. Dalam hal ini, materi mempunyai peran penting untuk mewujudkannya.
Jargon lawas "Muda foya-foya, tua kaya-raya dan mati masuk surga" sepertinya menjadi sebuah pedoman orang-orang hedon.
Pada mulanya, tidak ada yang salah dengan hedonisme sebab nyaris semua manusia menargetkan kesenangan dalam hidup.
Yang jadi masalah adalah ketika seseorang sudah tidak peduli lagi bagaimana cara, sarana dan akibat dari proses pencarian itu.
Secara singkatnya, hedonisme bisa membuat manusia mengabaikan perihal haram/halal, baik/buruk dan salah/benar dikarenakan yang terpenting hanya satu, yaitu tercapainya kesenangan atau terengkuhnya kenikmatan.

Belakangan ini, hedonisme sudah tidak lagi menjadi sebuah pandangan hidup, melainkan sudah berubah menjadi sebuah gaya hidup bagi masyarakat urban.

Gaya hidup yang menonjolkan kemewahan, senang-senang, foya-foya dan menghambur-hamburkan uang.
Seiring dengan naiknya penghasilan/pendapatkan akan ikut naik juga gaya hidup kita.
Bahkan tidak jarang, orang rela lebih memilih untuk berhutang dibandingkan untuk menurunkan gaya hidupnya.

Sesungguhnya tidak larangan untuk memiliki gaya hidup hedon, namun sebaiknya gaya hidup tersebut kita hindari dikarenakan gaya hidup seperti itu dapat menimbulkan efek ekslusifitas yang mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial.

Kasus First Travel disebabkan Hedonisme

Belakangan ini di media massa sedang marak-maraknya pemberitaan tentang gagalnya ribuan orang berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah Umroh. Kasus ini menjerat pasangan suami istri Andika Surachman dan Anniesa Devitasari Hasibuan yang menjabat sebagai pimpinan dari perusahaan penyedia jasa layanan Umroh PT First Anugrah Karya Wisata atau First Travel.
Total kerugian yang diderita oleh para calon jemaah mendekati 900 Milyar, sebuah jumlah yang fantastis.
Diberitakan bahwa pasangan suami istri tersebut telah menipu 58.682 orang dikarenakan mereka tidak lekas diberangkatkan ke Tanah Suci seperti yang telah dijanjikan.

Kemunculan dan tamatnya riwayat First Travel yang didirikan di tahun 2011 tersebut tidak memerlukan waktu yang panjang, hanya kurang dari 10 tahun saja.

Banyak yang beranggapan bahwa kehancuran perusahaan tersebut dikarenakan gaya hidup hedon yang dilakukan oleh sang pemilik, yaitu pasangan suami istri tersebut.

Andika dan Anniesa seakan-akan menyimpan dendam nasib lantaran sebelumnya mereka hidup dalam keadaan susah. Seperti yang telah diberitakan, mereka pernah menjadi penjaga sebuah minimarket, penjual pulsa, berdagang burger dan seprai.

Melalui akun sosial medianya, pasangan tersebut sering tampil dengan busana yang glamour, bahkan tak jarang juga mereka berpose di tempat-tempat wisata favorit di berbagai belahan dunia. Bahkan sering juga Andika dan Anniesa memamerkan kemegahan rumah mereka yang laksana sebuah istana.

Namun itu semua berubah di awal tahun 2017 di saat ribuan orang melakukan aksi protes keras. Ribuan calon jemaah menuntut hak mereka untuk diberangkatkan ke Tanah Suci setelah nasib mereka terkatung-katung tidak jelas. Mereka seharusnya sudah diberangkat pada akhir 2015.

Diduga, dana para calon jemaah tersebut digunakan untuk membeli aset-aset pribadi pasangan suami istri tersebut.

Beberapa aset pribadi dari pasangan tersebut telah disita oleh pihak kepolisian, seperti beberapa mobil mewah dan rumah mewahnya. Yang mengherankan adah dana yang ada di rekening perusahaan tersebut hanya tersisa kurang dari Rp 2 juta saja.

Kasus Andika dan Anniesa bisa jadi hanya satu contoh yang ada dari bahaya perangkap gaya hidup hedonisme yang mengancam masyarakat Indonesia.

Gaya hidup konsumtif tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup hedonisme yang dianut.
Di satu sisi, pola dan gaya hidup konsumtif memberikan kepuasan dan kenikmatan baik secara fisik maupun psikologi.
Namun disadari atau tidak, gaya hidup konsumtif justru memberikan dampak kurang baik bagi "kesehatan finansial".

Gaya hidup konsumtif dapat dikatakan sebagai pemborosan. Ketika kita masih memiliki daya beli, gaya hidup konsumtif memang mengasyikkan. Kita bisa membeli segala sesuatu bukan hanya yang kita butuhkan, namun termasuk yang kita inginkan.
Namun tanpa kita sadari, perilaku ini akan menjadi kebiasaan yang mengendap dan membentuk suatu karakter yang sulit untuk kita ubah bahkan untuk kita hilangkan.

Ketika kita telah menaikkan gaya hidup kita, maka akan sulit bagi kita untuk menurunkan gaya hidup.
Ini adalah suatu sifat manusia untuk mencari kesenangan dan menjauhi kesengsaraan.
Selain itu ada faktor malu, faktor kenyamanan yang akan menyiksa diri kita ketika sudah mempunyai penghasilan dan ingin memuaskan gaya hidup yang menyamar sebagai kebutuhan hidup kita.

Forum Indonesia berDiskusi untuk Edukasi (IDE) di Sidney, Australia beberapa waktu yang lalu tertarik untuk mengkaji fenomena berkembangnya kelas menengah di Indonesia.
Kelas ini mereka simpulkan sebagai pertanda masih adanya kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat.
Kecenderungan orang-orang di kelas ini memiliki tingkat penghasilan yang cukup baik namun pola pikir yang dipakai oleh mereka masih membajak cara pandang kelas-kelas di bawahnya.

Dengan kata lain, secara ekonomi mereka sudah mulai membaik, namun dalam bersikap, terutama kepekaan sosial, masih sangat minim.

Soal nasib, mungkin Andika dan Anniesa masih berada di tingkatan ini mengingat rekam jejak keduanya yang sangat drastis dari segi ekonomi.

Yang cukup mengherankan adalah mengapa Andika dan Anniesa lebih memilih "bermain" dengan wilayah agama. Umroh bukan sebuah ibadah sepele yang bisa dimanfaatkan untuk meraup kekayaan.
Seharusnya, agama digunakan sebagai penangkal diri agar terhindar dari gaya hidup boros dan berfoya-foya. Terlebih lagi, hal itu memberikan dampak kerugian bagi banyak orang.

Suroso, dalam Psikologi Islam (2011) mengatakan salah satu penyebab meningkatnya gaya hidup hedonis adalah kemerosotan iman.
"Salah satu larangan agama adalah bersikap berlebih-lebihan atau bersikap boros," tulis dia.
Dengan mengutip teori Glock and Stark, Suroso juga menulis, iman juga akan mengantarkan manusia berbuat kebaikan. Tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain.

Tidak hanya Andika dan Anniesa, sesungguhnya semua orang bisa terperangkap oleh hedonisme, termasuk kita, keluarga kita, saudara kita dan teman-teman baik kita.

Tips Supaya Terhindar dari Perangkap Hidup Hedonisme

1. Hidup Sederhana
Bahagia itu sederhana, begitu ungkapan yang dipelopori oleh Farid Stevi, seorang seniman asal Yogyakarta.
Kita perlu menanamkan dalam diri sendiri bahwa kesederhaan adalah kunci kebahagiaan. Tidak perlu bermewah-mewahan, tidak kekurangan sudah bisa menjadi sebuah modal untuk hidup tenang.
Hidup sederhana bisa menjauhkan kit dari ketamakan dan keserakahan.

2. Buat Skala Prioritas.
Hedonisme membuat kita menjadi konsumtif. Untuk menghindarinya, buatlah skala prioritas barang-barang yang kita butuhkan. Mulai dari tingkat urgensi yang tinggi hingga ke rendah. Ingat, apa yang kita butuhkan berbeda dengan apa yang kita inginkan.

3. Berhati-hati Dalam Memilih Teman.
Berteman boleh dengan siapa saja, namun tidak semua teman bisa memberikan pengaruh yang positif bagi kita, terkadang ada pula yang memberikan pengaruh negatif ke kita. Bagaimanapun juga, lingkungan pergaulan bisa mempengaruhi kepribadian dan gaya hidup kehidupan kita. Oleh karena itu kita harus bisa pintar-pintar melakukan filtrasi atas lingkungan pergaulan kita.

4. Menabung.
Bagi para penganut hedonisme, menabung merupakan sesuatu yang sangat susah untuk dilakukan, padahal menabung sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup jangka panjang kita seperti untuk membiayai pendidikan anak, membayar DP rumah, persiapan dana pensiun dan kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak.
Menabung tidak harus dalam jumlah yang besar, bisa dimulai dari nominal yang kecil, apabila dilakukan secara terus-menerus tentu nilai tabungan kita akan semakin banyak.

5. Kurangi Jalan-jalan atau Cuci Mata di Pusat Perbelanjaan.
Jalan-jalan dan cuci mata di sebuah pusat perbelanjaan merupakan sebuah aktivitas yang mengasyikan. Bisa dikatakan itu merupakan sebuah refresing yang mudah. Namun akan berbahaya jika hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan karena berpotensi menimbulkan niat belanja yang tak terduga dan terencana. Kita sering mudah tertarik untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak ada dalam daftar kebutuhan kita. Di saat itulah terkadang keinginan mengalahkan kebutuhan.

6. Cermatilah Ketika Membeli Barang.
Membeli barang sebaiknya berdasarkan fungsi akan lebih bijak dibandingkan merek atau brand hanya untuk menunjang gengsi.

7. Beramal dan Bersedekah.
Cara ini memang berbau religi, namun ampuh untuk merubah perilaku konsumtif. Dengan beramal dan bersedekah, berarti kita telah berbagi dengan orang-orang yang secara ekonomi tidak seberuntung kita.
Banyak contok Milyader dunia yang mengalokasikan sedikit uang mereka untuk beramal, seperti Bill Gates yang memberikan 60% kekayaannya untuk yayasan Bill and Melinda Gates (yayasan dengan dana paling besar di dunia dan banyak membantu dunia kesehatan dan pendidikan).
8. Mendekatkan Diri Kepada Tuhan.
Setelah melakukan hal-hal yang telah disebut di atas, jangan lupa diiringi dengan peningkatan kadar keimanan kita kepada Tuhan supaya kita selalu bersyukur atas apa yang kita miliki dan tidak mudah iri dengan apa yang orang lain miliki.

Sebagai penutup, tidak ada salah jika kita berdoa semoga kita semua, termasuk keluarga, saudara dan teman baik kita, dihindarkan dari gaya hidup hedonisme.
Ingat, di alam kubur nanti, kita tidak akan ditanyai berapa pendapatan kita perbulannya. Dan semua harta benda kita tidak akan kita bawa mati.

Tuesday 8 August 2017

Just for My Family

Tidaklah seorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dari kesalahan-kesalahannya.
(HR. Bukhari)

Hadist di atas saya gunakan sebagai penyemangat untuk diri sendiri di saat bertubi-tubi "cobaan" datang.
Dimulai dari datangnya penyakit yang membuat saya benar-benar harus bertekuk lutut menghadapinya.
Ditambah beberapa masalah internal keluarga yang harus saya hadapi.
Mungkin inilah cobaan-cobaan yang harus dihadapi seorang Muslim yang telah menetapkan hati untuk "Hijrah".

Hadist di atas juga sebagai penyemangat untuk saya supaya saya bersabar. Sabar dalam menghadapi semua ini.

Tidaklah perlu saya memaparkan secara detail masalah-masalah yang saya hadapi ini, saya hanya akan memaparkan kulitnya saja supaya Anda yang membaca tulisan ini bisa mengambil hikmah tentang apa yang saya hadapi.

Kenapa saya tulis Just for My Family? Karena saya akan melakukan semua ini untuk keluarga saya.

Ketika badan saya yang dalam kondisi belum 100% fit, saya memaksakan diri untuk bekerja. That's why? Saya punya alasan tersendiri kenapa saya melakukan itu.
Dan saya harus sabar menghadapi orang yang tidak tahu tapi sok tahu dalam bekerja. Orang yang tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu, tanpa tabayun langsung berbicara kesana-kemari menyampaikan opininya.
Saya ikhlas seakan-akan menjadi pesuruh-nya karena saya tahu di sana dia melakukan itu kepada keluarga saya.
Saya sabar dituduh ini-itu dan saya tetap diam.
Biarkan saya yang menanggung itu semua, asalkan kakak saya disana tidak menderita.
Saya tahu tapi hanya pura-pura tidak tahu dengan apa yang Anda lakukan disana.

Saya bersabar dan ikhlas karena saya melakukan itu semua demi keluarga walaupun kadar rasa hormat saya kepadanya berkurang.
Semoga rasa sabar ini tidak ada batasnya.

Saya akan berusaha keras "mengangkat" keluarga walaupun tangan ini harus "patah".
Saya akan tetap melindungi mereka dengan cara saya sendiri.

Bahkan andai saya sakit, selama badan ini belum ambruk, saya akan tetap bergerak demi mereka.

Janji saya di hadapan pusara ayah dan kakak saya, akan saya wujudkan.

Silakan Anda berbuat sesuka hati terhadap saya, silakan Anda berbicara ke orang-orang tentang saya semau Anda.
Tenang, saya akan berusaha untuk tetap diam dan tersenyum.
Tapi, jangan pernah sekali pun Anda usik keluarga saya!
Don't touch my family!!
Karena saya akan melakukan segalanya untuk membantu mereka dan untuk melindungi mereka.

Saya percaya Allah tidak akan diam saja.

Monday 16 January 2017

Muslim yang Lucu (2)

Jarum jam dinding sudah menunjukkan di angka 2 tapi mata ini masih susah untuk dipejamkan. Jam 02.00 dan aku masih terjaga. Entah kenapa aku masih teringat tentang ucapan Badrun tadi sore menjelang Maghrib.
Badrun, seorang kawan sejak lama. Seorang yang hanya lulus Sekolah Dasar, tapi memiliki etos kerja yang melebihi seorang sarjana. Pekerja keras yang tangguh dan selalu melakukan pekerjaannya dengan kesungguhan dan keikhlasan.
Siapa sangka kalau dia punya pemikiran seperti itu? Benar-benar tidak bisa kuduga.

"Kang, ada yang gak kalah lucunya lagi nih. Kalau dilihat dari agamanya, dia seorang Muslim. Tapi.."
"Tapi opo tho Drun? Ngomong tuh diselesaikan, jangan sepotong-potong gitu tho?"
 "Iyo,iyo kusambung. Seorang Muslim yang katanya mempunyai Tuhan, tapi entah apa yang dia sembah. Mungkin dia menyembah Allah, tapi tanpa sadar dia juga menyembah kemegahan duniawi, seperti menyembah uang, harta, pangkat, gengsi dan lain-lain Kang."

Waah, berat nih omongan si Badrun.

"Trus lagi nih Kang, pada saat hari raya Idul Fitri ada beberapa umat Muslim yang merayakan dan menyelenggarakan Idul Fitri lebih secara kebudayaan daripada secara agama. Atau dengan kata lain, Idul Fitri masih bersifat kultural daripada religius."

Badrun terdiam sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena terlalu berapi-api ngomongnya.

"Kita lebih menekankan diri pada hura-hura, senang-senang materiel, baju baru, petasan dimana-mana, kemewahan dan konsumsi-konsumsi. Kita kurang menyelam ke dalam ruhani Idul Fitri. Ke dalam usaha keinsyafan baru, kesadaran baru dan kelahiran baru."

Jleeeeb!! Kalimat Badrun serasa menohok diriku. Memang aku seperti aku, memang.

"Ada Muslim yang percaya dengan kekuatan Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa, tapi kocaknya dia juga percaya dengan kekuatan-kekuatan yang lain, mengandalkan kekuatan-kekuatan itu bahkan sampai memuja serta mengagungkannya. Edan tho Kang?"

"Ada manusia yang percaya bahwa musibah atau cobaan itu dari Gusti Allah. Allah yang memberi. Namun, saat dia sudah berhasil mengatasi semua itu, dia lupa bahwa kekuatan yang dia miliki untuk mengatasi semua itu juga dari Allah."

Si Badrun terus aja nyerocos mulutnya.

"Di saat dia susah, di saat dia butuh, dia berdoa terus-menerus memohon kepada-Nya. Bahkan kadang-kadang doa yang diucapkannya sangat ekspresif, dipuitis-puitiskan. Tapi begitu keinginan dan hajatnya sudah dikabulkan-Nya, dia jadi lupa diri. Bahkan bersyukur kepada-Nya pun dia lupa. Atau dengan angkuhnya dia meng-klaim bahwa semua itu hasil jerih-payahnya dan hasil usahanya. Muslim macam apa itu?"

Sungguh, petang itu aku benar-benar menjadi pendengar setia omongan Badrun.

"Kang, semoga kita ini dijadikan-Nya Muslim yang benar-benar Muslim ya Kang?"

Aamiin.






Sunday 15 January 2017

Jangan Seperti Aku

Jangan seperti aku,
Aku ini tahu sedikit tentang sangat sedikit hal,
Aku ini sok ilmiah,
Padahal sebenarnya aku tidak paham betul apa yang disebut ilmiah.

Jangan seperti aku,
Aku suka menggunakan kata ilmiah dan tidak ilmiah,
Aku suka merasa rasional,
Padahal aku tak tahu beda rasionalitas dengan rasionalisme.
Aku tidak mengerti mana batas antara konvensi ilmiah dan konvensi akademis,
Bahkan aku tidak bisa persis melihat jarak antara sebutan "akademis", "ilmiah", dan "intelektual".

Jangan seperti aku,
Yang sok-sokan gemar membaca,
Padahal kalau aku membaca koran,
Aku tak tahu bagaimana membedakan Tajuk Rencana, Features, Berita, Opini, Kolom, Artikel Ilmiah atau Cerpen dan Puisi.

Jangan seperti aku,
Yang gemar membelanjakan uang untuk hal-hal picisan,
Untuk keindahan-keindahan artifisial,
Namun ogah mengeluarkan biaya untuk kemuliaan, kebaikan atau keluhuran.

Jangan seperti aku,
Yang gemar berdoa dan beribadah,
Hanya saat ada butuhnya saja,
Padahal itu sebuah kewajiban.

Jangan seperti aku,
Yang hanya bisa mengobral janji,
Seperti seorang Caleg atau Cagub yang sedang berkampanye di kampung-kampung,
Namun tidak mampu untuk merealisasikan janji-janjinya.

Jangan seperti aku,
Yang ber-Tuhan namun lebih suka menyembah pada harta, uang, kehormatan, pangkat,
Yang Lebih takut lapar, miskin dan sengsara,
Dibandingkan takut dengan dosa.

Jangan seperti aku,
Yang sok-sokan mengamati tingkah laku orang lain,
Nang sok-sokan menilai orang lain,
Namun tidak pernah bercermin,
tidak pernah menyadari kekurangan dan kelemahan diri sendiri.

Pokoknya jangan seperti aku!!

Saturday 14 January 2017

Sayonara My Friend

sayonara my friend


Tuhanlah yang mempertemukan,
dan Tuhanlah yang memisahkan.

Ikhlas tidak ikhlas, rela tidak rela, yang pergi tetap akan pergi, begitu juga denganmu kawan. Setelah sekian lama kita bersama, aku harus merelakan kepergianmu dan itu terasa sangat berat bagiku.
Sekian lamanya engkau menemaniku, suka dan duka kita jalani bersama, tetapi pada akhirnya kita harus berpisah.

Aku tidak akan melupakan saat-saat bersamamu.
Saat pertama kali berjumpa denganmu di Simpang Lima, Semarang. Sebuah perjalanan panjang dari Yogyakarta menuju semarang menggunakan sepeda motor dengan kondisi hujan dan aku sama sekali belum tidur di malam sebelumnya. Saat aku harus menunggumu berjam-jam hingga petang. Tak akan pernah kulupakan kenangan itu.
menanti kedatanganmu


Aku juga masih ingat saat kita berdua bermandikan abu vulkanik Gunung Merapi dan saat kita berjuang menyelamatkan diri dari semburan awan panas.
Aku juga tidak akan begitu saja melupakan saat beberapa orang tersenyum di depanmu, bahkan beberapa artis pun ikut tersenyum di hadapanmu. Sungguh luar biasa.
Banyak kenangan bersamamu, kawan. Dan itu tak akan bisa kulupakan begitu saja. Banyak tempat yang sudah kita singgahi bersama, bahkan sampai ke ujung timur Indonesia, yaitu Papua.
Masih ingatkah dirimu saat kita diremehkan di suatu lomba tapi malah akhirnya kita pulang membawa piagam dan uang sebagai tanda kalau kita menang? I'll always remeber that!

Usiamu memang sudah tidak muda lagi kawan, dengan segala keterbatasanmu, tapi engkau tetap berusaha sekuat tenagamu untuk memperoleh hasil yang bagus. Walaupun engkau pernah sakit, bahkan koma hingga 3 bulan, tapi kau tetap berusaha untuk bangkit lagi.

Maafkan aku kawan yang sudah melanggar janjiku. Janji untuk tidak melepasmu walau apapun itu kondisimu. Maaf...
Maafkan aku kawan yang harus mengorbankanmu hanya karena sebuah kesalahanku, sebuah ketidaktelitianku, dan sebuah keteledoranku.
Maafkan aku kawan, aku harus bertanggungjawab atas kesalahan yang sudah aku buat, itu demi sebuah kepercayaan dan demi sebuah hubungan persahabatan.
Maafkan aku kawan, ternyata pengorbananmu masih belum cukup untuk menebus kesalahanku itu.
Maafkan aku kawan.

Kawan, begitulah manusia, memang susah untuk dipahami. Demi pertemanan dan persahabatan sampai harus mengorbanan teman yang lain.

Terima kasih kawan karena engkau telah setia menemaniku, telah setia mengajariku dan telah memberiku hidup serta membuat hidupku jadi berarti.
Semoga engkau menemukan sosok yang tepat, sosok yang jauh lebih baik daripada aku.
Jangan khawatir kawan, andai kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.

Yes it's time to say auf Wiedersehn
Sayonara and ciao my friend






Wednesday 11 January 2017

Muslim yang Lucu

"Muslim macam apa ini?"
Ucap Badrun sedikit berteriak namun lumayan mengagetkanku.

"Kamu tuh kenapa tho Drun? Waras?"
"Alhamdulillah Wasyukurillah, aku masih waras. Aku masih sehat."
"Apa ya gara-gara aku teriak trus dicap gak waras gitu?"
Badrun malah balik bertanya kepadaku.

"Lha iya tho, perasaan tadi kita lagi ngobrol baik-baik, trus kamu ngeliatin hapemu, lalu diam sejenak trus kok tiba-tiba teriak kayak gitu?"

Memang aku dan Badrun sering menghabiskan sore sembari ngobrol ngalor-ngidul, terkadang ngobrolin politik, ngobrolin masalah ekonomi termasuk naiknya harga cabe, ngobrolin bunga desa sebelah, ngobrolin apa aja yang bisa dijadikan bahan obrolan.

"Jadi gini,"
Badrun berhenti sejenak karena sibuk menyalakan rokok yang ada di mulutnya yang kering.

"Aku melihat ada beberapa kaum Muslim yang lucu."
"Lho, lucu gimana tho Drun? Pelawak kah?"
"Ealaaah..bukan itu!"
"Ada teman nih, teman aku sendiri, dia muslim. Aku sering lihat dia Shalat. Trus dia bilang sendiri kalau dia itu sangat mengidolakan Nabi Besar kita Rasulullah SAW bahkan ingin mengikuti segala sunnah Rasul."
"Lha trus dimana lucunya Drun?"
"Hisssh, makanya jangan dipotong dulu omonganku!! Dengerin dulu!"

Aku terdiam sembari mengangguk tanda mengiyakan.

"Nah, selama hidupnya kan Rasulullah penuh dengan kesederhanaan kan? Jauh dari kata kemewahan duniawi, betul kan?"
Aku mengangguk lagi.
"Tapi dia hidupnya senang dengan kemewahan, dan mungkin merasa tersiksa kalau disuruh hidup sederhana."

"Itu temanmu kan Drun? Udah coba kamu ingatkan?"

"Lha ya sudah tho yo. Sesama Muslim kan aku mencoba mengingatkannya. Ee, malah katanya terserah dia, kan semua ini hasil jerih payah dia sendiri, hasil dia banting tulang, hasil dia kerja keras dan dia berhak untuk menikmati semua hasil kerja kerasnya itu."
"Kan lucu tho Kang? Ngakunya pengikut Rasulullah, Rasulullah saja hidupnya sederhana tapi dia malah suka dengan kemewahan dan malu untuk hidup sederhana. Kocak kan Kang? Hahahaha."

Badrun tertawa terpingkal-pingkal sendiri.

"Ada lagi nih Kang yang lucu."
"Ada teman yang selalu mengucap syukur Alhamdulillah saat kerja kerasnya membuahkan hasil, bahkan dia nulis Alhamdulillah juga di berbagai sosmednya sebagai tanda bersyukur. Aku rasa sih itu bagus. Namun apa yang dia lakukan setelah mengucap Hamdallah itu yang bikin lucu."

Badrun terdiam sebentar lalu melanjutkan perkataannya.
"Masak sehabis bersyukur, dia party ma teman-temannya, pesta, lalu minum alkohol? Kan lucu to Kang? Jangan nanya udah kuingetin apa belum karena pasti udah kuingetin."
"Dia malah ngotot melakukan pembenaran atas perbuatannya itu, katanya dia pantas merayakannya karena setelah semua duka, getir, kerja keras yang mungkin mempertaruhkan segalanya bahkan nyawanya akhirnya dia berhasil. Itung-itung syukuran katanya, kan lucu tho yo? Hahahahaha.."

Lagi-lagi Badrun tertawa terbahak-bahak, bahkan gelas kopi yang dipegangnya sampai nyaris terjatuh.

Aku benar-benar tidak menyangka, kawanku Badrun memiliki pemikiran seperti itu, padahal dia hanya lulusan sekolah dasar.
Dia jauh lebih peduli daripada aku.
Dia jauh lebih agamis daripada aku.















Monday 9 January 2017

Renungan Sang Pecundang dan Pendosa

Lelaki bertampang kusam itu hanya duduk terdiam di pojokan ruangan,
ruangannya yang sempit,
layaknya seekor kecoak yang terjepit tak berdaya,
Dia hanya diam membatu,
sambil sesekali menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terawat.

"Pecundang",
begitulah dia menamai dirinya.

"Aku tak lebih dari seorang pecundang,
seorang yang tak bisa berbuat apa-apa,
atau lebih tepatnya seekor pecundang?"

"Aku selalu berkoar-koar siap membantu, tetapi,
saat aku dibutuhkan,
aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu,
Apa itu bukan pecundang?"

"Aku telah mengecewakan orang-orang terdekatku,
bahkan, aku juga mengacaukan mimpi-mimpi indah mereka,
masih layakkah aku disebut bukan pecundang?"

"Aku selalu berteriak-teriak akan selalu ada untuk mereka,
namun, disaat mereka memerlukan kehadiranku,
aku malah menghilang,
Pecundang macam apa lagi diriku?"

"Aku akan selalu mendoakan kalian,
What? Doa?
Hahahaha...pasti aku sedang bercanda?
Jangankan memohon sesuatu kepada-Nya,
Dengan-Nya pun aku tidak akrab,
Dengan-Nya pun aku tidak dekat,
Bagaimana doaku bisa terkabul?
Tuhan pun pasti akan mentertawakanku,
Selain pecundang, aku juga pendosa besar."

"Memohon kepada Tuhan?
Bahkan terkadang aku sendiri bingung,
apa dan siapa yang kusembah.
Aku memang beragama,
setidaknya itu yang tertulis di secarik kertas identitasku,
tapi kenapa aku sering menyembah uang?
tapi kenapa aku sering menyembah harta?
Menyembah kekuasaan?
Menyembah kemuliaan hidup?
Menyembah derajat?
Itu semuakah Tuhanku?

Dia kembali larut dalam keheningan,
ada rasa penyesalan  yang menyesaki dadanya,
ada pemberontakan di dalam pikirannya,
tapi dia tak tahu harus berbuat apa.

"Sebenarnya aku bukan seorang penakut,
tapi entah kenapa tiba-tiba aku menjadi penakut seperti ini,
Aku takut kehilanganmu,
Aku takut menatap masa depanku,
Aku takut melangkah ke depan,
Aku takut dengan kesendirianku,
Aku takut sengsara,
Aku takut miskin,
Aku takut akan duka,
Aku takut....
Dasar pecundang!!"

Braaaakk
Tiba-tiba lelaki itu meninju tembok yang setia menemaninya.
Sang tembok pun retak dan berdarah.

"Hei, kau yang disana!!
Iya, kau!!
Jawab pertanyaanku!!
Masih pantaskah aku menemanimu?
Masih  layakkah aku mendampingimu?
Pikirkan dahulu baik-baik sebelum engkau menjawab!
Bukankah aku sama sekali tidak berguna?
Bukankah aku sama sekali tidak bisa membantu segala kesusahan?
Bukankah aku hanya bisa membuat masalah?
Bukankah aku bisanya hanya menyusahkan?
Bukankah aku malah membuat sial?"

"Seorang pecundang dan pendosa seperti aku,
sama sekali tidak layak bagi siapapun.
Sama sekali tidak pantas dijadikan kawan."

Dasar pecundang!!
Dasar Pendosa!!






Saturday 7 January 2017

Orang Kecil dan Orang Besar

Sebuah kutipan dari seorang Cak Nun yang saya idolai yang berjudul Kebesaran Orang Kecil 
yang bisa kita jadikan pelajaran.

Kebanyakan orang kecil adalah orang besar. Mereka bukan hanya berhati tabah, bermental baja dan berperasaan terlalu sabar, tapi juga berkemampuan hidup yang luar biasa.
Mereka sanggup dan rela berjualan beberapa botol air untuk penghidupan primernya. Kita pasti juga sanggup berjualan seperti itu, tapi tidak rela.
Orang kecil mampu menjadi kenek angkutan, menjadi satpam, menjadi tukang parkir atau menjadi pembantu rumah tangga seumur hidup.
Sedangkan kita tidak mampu dan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa kita sanggup menjadi kenek atau satpam atau pembantu rumah tangga seumur hidup.
Mereka ikhlas untuk tidak boleh terlalu memikirkan harapan dan masa depan. Sementara kita selalu memamerkan harapan dan masa depan yang kita pidatokan seakan-akan berlaku untuk mereka, padahal hanya berlaku untuk kita.
Mereka adalah orang-orang besar yang berjiwa besar. Mereka senantiasa siap menjalankan perintah kita dan menyesuaikan segala perilakunya dengan kehendak kita.
Kita inilah yang sebenarnya orang kecil. Kita hanya ikhlas kalau kita kaya, sukses dan berkuasa. Kita hanya sanggup menjadi pembesar. Kita hanya sanggup memerintah dan menggantungkan diri pada orang yang kita perintah.
Kita inilah sebenarnya orang kecil. Kita hanya ikhlas kalau kaya, sukses dan berkuasa. Kita hanya sanggup menjadi pembesar dan hanya sanggup memerintah.
Orang kecil seperti yang disebutkan dalam tulisan Cak Nun tersebut sebenarnya orang-orang yang pemberani. Mereka berani menjadi orang kecil.
Coba silakan tanyakan kepada hati nurani kita sendiri, beranikah kita semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah kita menjadi menjadi orang kecil? Kita tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi, tapi tidak takutkah kita untuk menjadi orang kecil? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada kita tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi orang kecil? Menjadi tukang bakso? Menjadi pedagang asongan? Menjadi Satpam? Menjadi Sopir? Menjadi Tukang Parkir?
Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding mereka semua? Karena pasti para orang kecil itu memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti kita semua.
Kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajatnya rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!




Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts