Tuesday 15 September 2020

Terjebak Jeratan Rentenir

Ketika kita mendengar kata "Rentenir", pasti pikiran kita akan langsung mengarah ke perihal hutang. Memang hal tersebut tidaklah salah karena Rentenir atau Lintah Darat atau Tengkulak itu erat kaitannya dengan masalah hutang-piutang.
Setiap orang pasti punya definisi tersendiri dengan yang namanya Rentenir, bahkan ada yang beranggapan bahwa Rentenir itu adalah manusia yang sangat kejam sifatnya karena dia meminta bunga yang sangat tinggi dari uang yang telah dia pinjamkan.

Disini saya tidak ingin menjelaskan arti dari rentenir karena saya percaya Anda bisa mencari sendiri arti tersebut.
Saya disini akan berbagi pengalaman saya yang pernah berhubungan langsung dengan seorang Rentenir, atau istilah lainnya terjerat hutang kepada seorang Rentenir. Dan itu terjadi selama 2 tahun.
Cerita pengalaman saya ini mungkin cukup panjang, karena itu tidak ada salahnya siapkan dulu cemilan, kopi atau teh dan juga rokok Anda. Tentu saja nama-nama yang ada di dalam cerita saya ini saya samarkan karena ini menyangkut teman-teman saya juga, jadi mohon dimaklumi.

Kejadian ini terjadi kira-kira 3 tahun yang lalu. Saat itu teman saya, sebut saja A meminta tolong untuk mencarikan uang sebanyak 10 juta rupiah karena ada sebuah kebutuhan. Jujur saja saat itu saya tidak memiliki uang sebanyak itu. Rasa iba dan ingin menolong itu muncul karena desakan dari dia dengan memohon kepada saya. Dan dia berani menjanjikan akan membayarnya setelah dia mendapatkan fee dari proyeknya, kira-kira sebulan. Karena saya sudah mengenal lama dan mengenal baik dia, saya pun percaya dengan janjinya.
Singkat kata, saya coba mencarikan pinjaman ke teman kecil saya, sebut saja B. Tentu saja dengan alasan bahwa saya yang meminjam karena ada suatu keperluan. 
Sebab jikalau saya mengatakan bahwa untuk meminjamkan ke teman, kecil kemungkinan dia bisa membantu.
Karena kedekatan kami sedari kecil, bahkan rumah kami pun berdekatan, akhirnya dia meminjamkan uang 10 jt kepada saya.
Kemudian saya serahkan uang tersebut kepada A yang membutuhkan bantuan saya tadi, tentu saja saya beritahu bahwa uang tersebut saya dapatkan dari meminjam teman saya yang lain.
Disinilah awal ketidakjujuran saya yang akhirnya saya sesalin. Saya tidak jujur kepada B bahwa uang tersebut saya pinjamkan juga ke orang lain.
Setelah 1 bulan, B ini menagih janjinya kepada saya. Saat itu saya mencoba menagih ke A karena dia mungkin sudah mendapatkan fee dari proyeknya. Tapi ternyata asumsi saya salah, dia belum sanggup membayar dan meminta kelonggaran. 
Akhirnya semacam pesan berantai, sayapun meminta kelonggaran kepada teman saya.
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tetap saja A belum sanggup membayar uang tersebut kepada saya, dan tentu saja untuk kesekian kalinya saya meminta kelonggaran kepada B dengan berbagai macam alasan.
Setelah mungkin ada 3 bulan, akhirnya kesabaran si B tersebut habis, datanglah dia kepada keluarga saya dan menceritakan semuanya kepada keluarga saya.
Bisa Anda bayangkan apa yang terjadi setelah itu kan? Saya kena semprot dan marah dari keluarga. Rasa bersalah itu muncul di dalam hati karena saya telah mempermalukan keluarga.
Dikarenakan rasa panik, gugup dan rasa bersalah, saya mencoba mencari pinjaman lagi untuk melunasi hutang tersebut.
Saat itu saya merasa bahwa tidak bisa mengandalkan A tadi karena dia sendiri tidak memiliki dana untuk membayar hutangnya kepada saya. 
Akhirnya saya coba mengontak teman yang dulu 1 kos dengan saya waktu masih merantau di Yogya. Sebut saja namabya C. Tentu saja saya bilang bahwa saya ada keperluan mendesak. 
Satu kebohongan akan ditutupi oleh kebohongan berikutnya, dan itulah yang saya lakukan. 
Sekali lagi saya membohongi C hanya demi mendapatkan uang agar bisa secepatnya membayar hutang kepada B.
Dikarenakan kami pernah 1 atap di Yogya dan pernah senasib seperjuangan, dia bersedia membantu saya.
Namun saat itu, C tidak memiliki uang sebanyak itu karena uangnya sudah dia belikan motorsport secara tunai/cash.
C menawarkan untuk menggadaikan surat kendaraannya namun saya yang harus menebusnya, tentu saja beserta bunganya.
Dalam suasana panik dan gugup, saya setujui penawarannya. Akhirnya di sebuah hari yang telah kami sepakati, kami berangkat menggadaikan BPKB motor C. Awalnya saya mengira akan digadaikan ke Pegadaian atau sebuah Koperasi Simpan Pinjam (Kospin), ternyata bukan. Kami bertemu dengan seorang lelaki tua dengan tampilan khas Betawi di sebuah desa kecil di daerah Bogor. C memanggilnya Abah.
Dia menjelaskan alasannya lebih memilih mendatangi Abah daripada ke Pegadaian atau Kospin karena prosedurnya yang sangat cepat, hanya hitungan menit dan tanpa cek ini itu. Berbeda dengan Pegadaian dan Koperasi yang harus menunggu dan adanya survey.
Namun konsekuensinya adalah bunga yang jauh lebih tinggi dibandingkan lembaga formal. Saat itu bunga yang harus kami bayar adalah 20% untuk peminjaman 1 bulan, andai dalam 1 bulan tidak bisa melunasi, maka motorsport C akan diambil.
Dengan kata lain, bulan depan saya harus membayar 12 jt untuk melunasi itu semua.
Tanpa pikir panjang, saya sanggupin. Saya sudah tidak bisa berpikir panjang karena saat itu saya hanya berpikir bagaimana caranya agar uang B itu bisa saya lunasi.
Tanpa saya sadari, disitulah awal mula saya berurusan dengan seorang Rentenir, yaitu Abah, dalam hidup saya. Dulu saya hanya mengetahui seorang Rentenir hanya dari sebuah cerita atau tayangan di televisi, namun sekarang saya malah langsung menghutang kepada Rentenir.
Saat itu saya hanya berpikir kalau bulan depan pasti A sudah memiliki uang dan bisa melunasi hutangnya.
Sedikit informasi bahwa saya cerita semua kepada si A, dan juga perihal saya meminjam ke C lalu berurusan dengan Abah. A pun berjanji bahwa dia akan mendapatkan uang untuk melunasi semuanya termasuk dengan bunganya.
Singkat cerita, hampir satu bulan berlalu, di suati sore, C mengirimkan pesan menanyakan perihal pinjamannya ke Abah. Dia berkata bahwa jatuh tempo kurang 2 hari lagi. Tak lama kemudian, langsung saya tanyakan ke A bagaimana perihal hutangnya ini dan ternyata jawabannya jauh di luar dugaan. A tidak memiliki uang untuk melunasinya.
Alhasil saya kembali panik dan kalut. Andai motor C sampai disita Abah, tentu saja saya jadi satu-satunya manusia yang paling bertanggungjawab atas semua itu. Padahal saya tahu bahwa untuk bisa membeli motorsport idamannya, C harus menabung lama.
Disitulah saya sadar bahwa saya bersalah dari awal karena tidak jujur.
Akhirnya saya beranikan diri untuk berbicara jujur kepada C dan saya siap untuk menanggung semua konsekuensinya sebagai bentuk pertanggungjawaban saya. Tentu saja C marah besar saat tahu bahwa saya tidak mempunyai uang dan saya tidak jujur. Namun Alhamdulillah karena kami berteman dari dulu dan pernah mengalami susah bersama, C bersedia memaafkan ketidakjujuran yang telah saya lakukan.
Tapi tidak cukup sampai disini saja, ada konsekuensi yang harus saya tanggung, yaitu perihal hutang.
Ketika jatuh tempo hutang kurang 1 hari, kami kembali mendatangi Abah. Disana saya berkata jujur bahwa sebenarnya sayalah yang menghutang dan saya siap menanggung konsekuensinya, dalam artian perihal pembayaran, saya yang bertanggungjawab melunasi semua itu. Namun disitu saya meminta keringanan pembayaran supaya bisa dicicil.
Hal itu tentu saja tidak serta-merta langsung disetujui oleh Abah. Abah menanyakan pekerjaan saya, saya kerja dimana, atau saya wirausaha dan dimana tempat usaha saya. Saya jawab secara jelas dan terperinci perihal usaha dan dimana tempat usaha saya.
Sebelum menyetujui tentang pengajuan keringanan pinjaman, pihak Abah ingin melihat tempat usaha saya sebagai bahan pertimbangan. Ibarat sebuah Leasing, mungkin melakukan sebuah survey calon nasabah terlebih dahulu.
Singkat cerita, keesokan harinya datang 3 orang perwakilan dari Abah ke tempat usaha saya, kami ngobrol basa-basi sebentar. Lalu salah satu orang itu menyampaikan bahwa besok diminta Abah untuk datang lagi ke kediaman beliau. Masalah waktu dan jamnya terserah saya, sebisa saya.
Keesokan malam sehabis Maghrib, saya kembali mendatangi Abah. Tentu saja banyak harapan di pikiran saya, diantaranya jangan sampai motor si C itu diambil oleh pihak Abah karena saya.
Oiya, secara kepribadian, Abah bukan orang yang galak dan judes seperti seorang rentenir yang kita lihat di acara-acara TV. Dia sangat ramah dan penuh senyum.
Setelah kami berbasa-basi, Abah menanyakan apakah saya sanggup mengangsur sebanyak 1 juta per bulan. Tanpa pikir panjang, saya sanggupi. 
Asumsi saya bahwa hutang sebesar 12 juta (sudah termasuk bunga), bisa saya lunasi dalam kurun waktu 1 tahun paling lama jika cicilannya 1 juta per bulan.
Namun lagi-lagi asumsi saya salah.
Selang beberapa lama, Abah menyodorkan 2 lembar kertas yang isinya perjanjian hutang-piutang dan copy-annya. Setelah saya baca dengan seksama, ternyata memang benar bahwa cicilan hutang saya itu 1 juta per bulan, namun harus dicicil selama jangka waktu 2 tahun. Berarti hutang saya yang awalnya 10 juta menjadi 12 juta karena bunga lalu membengkak lagi menjadi 24 juta karena cicilan 1 juta selama 2 tahun.
Tentu saja saya keberatan dan saya ungkapkan itu kepada Abah karena itu sangat jauh nilai pembengkakan hutang pada akhirnya.
Dengan wajah ramah, Abah memberikan 3 opsi kepada saya,
Pertama : silakan tanda tangani surat itu,
Kedua : tidak perlu ditandatangani jika keberatan, namun silakan besok kembali lagi kemari sembari membawa uang 12 juta,
Ketiga : tidak perlu tandatangani surat ini dan tidak perlu kemari besok dengan uang pelunasan, namun pihak Abah akan langsung mengambil motor milik C.
Disitulah pikiran saya langsung buyar dan panik karena tentu saja saya tidak ingin membuat C kehilangan motor barunya karena ulah saya. Akhirnya terpaksa saya tandatangani surat perjanjian itu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, saya menjalani rutinitas seperti biasa dan tentu saja dengan cicilan hutang tersebut. Terkadang terasa berat saat kondisi pemasukan sedang sulit, terkadang saat ada uang lebih, saya simpan untuk bulan berikutnya. Sedikit info bahwa di surat perjanjian itu harus dibayar rutin perbulan, jadi saya tidak bisa bayar untuk beberapa bulan kedepan sekaligus.
Hubungan saya dengan C Alhamdulillah tetap baik-baik saja walau pada awalnya dia nyaris kehilangan motor barunya karena saya. Mungkin banyak yang bertanya bagaimana dengan si A yang menjadi awal mula hutang ini?
Saat itu untuk beberapa saat, A menjauhi saya dan seakan memusuhi saya dengan alasan yang menurut saya sangat tidak mendasar. Jangankan membahas perihal 10 juta, menyapapun tidak.
Sempat pada suatu saat, saya sedikit sakit hati dan emosi sesaat muncul karena disaat saya sedang terjerat dengan cicilan hutang, saya melihat A memposting foto sebuah slip transferan sebesar 100 juta kepada orang tuanya. 
Tapi itu hanya emosi sesaat saja walau ada anggapan bahwa saya punya hak untuk marah. Namun saya tidak ingin melakukan itu.
Dan Alhamdulillah setelah 2 tahun akhirnya hutang saya kepada Abah bisa lunas, saat itu saya benar-benar bersyukur, serasa hilang sudah 1 beban berat saya. Saya anggap itu sebagai pelajaran hidup dan pengalaman yang sangat berharga.
Saya berharap itu pengalaman pertama dan terakhir berhubungan dengan seorang rentenir.

Begitulah cerita panjang tentang pengalaman saya terjerat hutang kepada rentenir. Pesan saya untuk semua yang membaca, jauhi itu rentenir, jikalau bisa, janganlah menghutang karena membuat hidup tidak tenang.

Oiya, untuk masalah dengan A, mungkin akan saya lanjutkan lagi lain waktu karena ada sangkut-pautnya dengan hutang yang nominalnya jauh lebih besar dibandingkan ini dan tentu saja melibatkan saya.

See you next time, jangan lupa tersenyum 😁


Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts