Tuesday 16 December 2014

TransJakarta dan Kisah di Dalamnya

Hujan rintik-rintik melanda daerah Senayan dan sekitarnya sore itu. Dengan langkah gontai, Badrun berjalan menuju halte busway yang ada di depannya. 
Badrun, seorang pemuda desa yang merantau di Ibu Kota demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Dia berasal dari sebuah kota kecil yang berjarak belasan jam dari Jakarta jika ditempuh dengan perjalanan darat. Matanya memandang tajam ke depan. Sesekali dia memandang ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Sebuah pemandangan yang tidak bisa dia lihat di kota asalnya.

Tumben sepi nih gak ada antrian?
Halte Transjakarta dalam kondisi sepi adalah sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya. Hanya ada beberapa orang di dalam halte itu.
Matanya berkeliaran menyapu seisi ruangan halte.
Busyett..masak gak ada ceweknya nih?
Yang bener aja,masak penumpangnya cowok semua?
Suram!! Benar-benar suram!!
Badrun berharap ada setidaknya 1 wanita yang bisa dijadikan hiburan untuk matanya. Tapi sayangnya kenyataan yang ada tidak sesuai dengan harapannya.
Bahkan sampai sebuah busway yang dia tunggu muncul pun tak ada seorang penumpang wanita yang datang.

Laahh..tumben juga nih busway kosong?
Biasanya kan padat berisi kayak sarden?
Tanpa pikir panjang dia langsung duduk di salah 1 bangku yang kosong. Di deretan bangku itu, hanya ada dia yang duduk sendiri.

Matanya kembali berkeliaran menyapu seisi busway. 
Hanya ada 2 wanita,lebih tepatnya ibu-ibu yang duduk bersebelahan dan juga 3 lelaki yang tadi mengantri di halte yang sama dengannya.
Siaall..kenapa gak ada cewek sama sekali sih?
Tuhan..please.. Apakah Kau sedang bercanda dengan diriku?
Sepet mataku bakalan kalau sampai nanti hanya ngeliatin cowok mulu.

Matanya memandang sekilas ke 3 lelaki yang naik bersamaan dengan dirinya. Ada yang bergaya seperti pegawai kantoran. Entah pegawai kantoran mana. 
Padahal ini kan hari Minggu, emangnya ada karyawan yang masuk?
Aneehh..
Satu lagi bergaya Ramires.
Ramires? Ya.. Rambut miring rai (wajah) gak beres. Itu singkatannya. Rambut lurus memanjang di bagian depan dengan ditata miring. Mungkin itu dandanan gaul jaman sekarang. Entahlah.. Dia tidak pernah mengamati mode masa kini.
Nah ini satu lagi bergaya seperti seorang Charlie vokalisnya Setia Band, lengkap dengan jaket andalannya. Dia memakai headset di telinganya. Entah itu headset atau alat bantu pendengaran yang biasa dipakai oleh tuna rungu. Entahlah.
Ahh..bodo amat.

Oh iya, ada satu lagi seorang pria muda yang berpakaian rapi dengan setia berdiri sembari memegangi pintu busway. Dia tetap berdiri walaupun banyak bangku kosong yang bisa dia duduki. 
Ya jelas dia tetap berdiri karena dia adalah kru bus itu. Dan dia akan tetap berdiri sepanjang perjalanan.

Melamun sembari kadang sedikit mengupil, itulah yang hanya bisa Badrun lakukan di dalam bus. Dia meletakkan tasnya di sebuah bangku yang kosong tepat di sebelahnya. Matanya hanya memandang kosong ke jendela dan kadang ke lantai bus yang agak lumayan bersih.

Bus Transjakarta atau yang kadang disebut dengan Busway ini berjalan tertatih menuju halte selanjutnya. 
Entah di daerah mana, entah apa nama halte itu, Badrun sama sekali tidak tahu. Dia belum lama datang di Jakarta, belum ada 6 bulan dia menginjakkan kaki di Ibu Kota ini. Dia belum hapal nama-nama daerah di Jakarta dengan segala keruwetan, kesumpekan dan kemacetannya. 

Pintu busway terbuka otomatis dan ada 2 penumpang masuk dari halte itu. Seorang bapak dan seorang wanita.
Tunggu..wanita?
Badrun mengamati wanita itu sekilas.
Nah ini wanita cantik namanya.
Eh..Itu beneran wanita?
Atau itu seorang bidadari yang sedang menyamar trus naik busway?

Perkiraan tingginya sekitar hampir 170 cm dengan rambut hitam lurus diikat. Dan mungkin juga rambutnya sebahu lebih.
Almost perfect!!

Wanita itu berdiri sejenak sembari memandang sekitarnya. Sepertinya dia mencari kursi kosong. Atau mungkin kursi yang nyaman untuk didudukinya lebih tepatnya.

Ada sebuah pemandangan unik yang membuat Badrun menahan ketawanya, yaitu entah kenapa tiba-tiba saja 3 orang lelaki yang menunggu bersamanya di halte tadi itu berdiri. Seakan-akan mereka hendak mempersilakan wanita itu untuk duduk di tempatnya. 

Tolol!! Padahal jelas-jelas banyak kursi kosong. Ngapain secaper itu?
Badrun hanya bisa tertawa di dalam hati. Dia mengambil tas ranselnya. Dia sadar karena ada sebuah kamera tua di dalam tasnya. Sebuah kamera tua beserta 2 lensanya yang dia gunakan untuk mencari uang. Dipeluknya tas ransel lusuh yang lusuhnya menyerupai wajahnya itu erat-erat. Tas lusuh, sweater lusuh dan muka lusuh, memang itu pasangan yang serasi.

Tanpa disadarinya, wanita itu duduk di sebelahnya. Badrun tidak sadar karena pikirannya masih mentertawakan tingkah kocak 3 pria itu tadi.
"Konyol!!" Gumamnya tanpa sadar dengan mata masih memandang ke lantai busway.

"Kenapa Mas? Situ ngatain gue konyol?" Ucapan wanita itu membuat Badrun tersadar.
"Ehh..enggak Mbak. Jangan salah sangka dulu." Badrun berkata dengan terbata-kata karena rasa kagetnya belum hilang.
"Yang konyol itu 3 cowok tadi Mbak. Yang tiba-tiba berdiri pas Mbak masuk. Kan masih ada beberapa kursi kosong, kenapa mereka harus berdiri mempersilakan Mbak untuk duduk? Bukannya itu konyol mbak?" Badrun menjelaskan dengan ucapan sedikit berbisik. Dia takut ketiga pria itu mendengar apa yang dia ucapkan.
"Ohh.. gitu." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya yang manis.

Badrun tersenyum sembari mencuri pandang ke wanita itu.
Benar-benar cantik. Hidung yang mancung. Kulit yang bersih. Mata yang indah. 
Pokoknya semuanya indah.

Badrun kembali menundukkan kepalanya dan memandang lantai busway. Kali ini dia berpikir keras bagaimana caranya mengajak kenalan wanita itu.
Tuhan sudah mengabulkan permintaanku. Bahkan Tuhan mendatangkan seorang wanita cantik duduk di sebelahku. Tapi kenapa Tuhan tidak sekaligus memberiku ide bagaimana cara untuk mengajaknya berkenalan?
Apakah aku harus menggunakan cara tradisional dengan tiba-tiba menyodorkan tangan kepadanya sembari berucap "Mbak, kenalan yuk" ?
Ide mana ide? Dimanakah dirimu? Sembunyi dimanakah engkau?
Apakah aku akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini?

Ya.. Ini adalah sebuah peluang emas untuk Badrun. Ibarat seorang Striker di dalam sepakbola, dia sedang berhadapan dengan kiper lawan one on one. Bisakah dia mencetak gol atau membuang kesempatan emas ini begitu saja?
Andaikata dia menyia-nyiakan kesempatan ini dan teman-temannya tahu, pastinya dia akan menjadi bahan ejekan. Di-bully habis-habisan.

"Eh Mas, sepertinya gue pernah lihat Masnya deh." Ucapan wanita itu membuat Badrun tersadar dari proses berpikirnya.
 "Kayaknya gue tau Masnya. Ntar coba gue inget-inget dulu ya Mas?" Lanjut wanita itu.

Ada seorang wanita cantik mengenalku? Pernah lihat aku?
Gak salah nih?
Jangan-jangan wanita itu sedang berhalusinasi?
Atau jangan-jangan wanita itu sedang depresi sehingga pikirannya kacau?
Tapi awas aja kalau dia ngomong aku seperti pelawak di tivi!!
Awas kalau dia ngomong aku seperti seorang Kiwil atau Edy Kopi!!

"Eh.. masak sih mbak?" Badrun balik bertanya dengan penuh harap.

Kali ini Badrum benar-benar memandang wanita itu.
Benar-benar wanita yang cantik, bahkan dengan make up seadanya pun dia terlihat sangat cantik.

"Yogya!! Hunting foto untuk amal korban Merapi. Iya, di saat itu gue liat cowok yang mirip ama Mas, itu Mas bukan?" Tanya wanita itu sembari menatap Badrun. Sekarang mereka saling bertatap mata.
"Mas saat itu datang dengan badan penuh dengan abu Merapi." Lanjutnya.

Busyet!! Itu saat bencana letusan gunung Merapi. Itu tahun 2010. 
Iya, saat itu aku masih di Yogya.
Saat itu aku sering naik ke daerah bencana di gunung Merapi.

Badrun terdiam sembari membuka ingatan di dalam otaknya.

Dia yang mana ya? Apa dia salah 1 model di acara itu?
Saat itu kan modelnya banyak dan hanya beberapa yang aku kenal.

"Eh iya Mbak. Mbak ikutan juga saat itu? Jangan-jangan Mbak ini salah 1 modelnya ya saat itu?" Hanya pertanyaan itu yang sanggup diajukan oleh Badrun. Padahal sesungguhnya dia ingin menanyakan nama.

"Iya. Gue saat itu jadi modelnya. Dan saat itu gue masih tinggal di Yogya." Jawab wanita itu sembari memandang jendela di depannya.

"Maaf nih sebelumnya Mbak, aku benar-benar lupa dengan Mbak. Karena saat itu aku hanya nonton doang. Dan juga ingin ketemu dengan teman yang kebetulan juga jadi salah 1 model di saat itu."

"Kok Mbak bisa ingat aku ya?" Badrun lanjut bertanya.

Apa mukaku ini unik banget sampai-sampai gampang diingat orang?
Atau ada sesuatu yang dianggap spesial olehnya sehingga dia tetap mengingat aku?
Ahh..kayaknya gak mungkin aku spesial di depannya.

"Oh ya, maaf nama Mbak siapa ya?" Badrun memberanikan diri bertanya.
"Siti. Masnya siapa?" Wanita itu balik bertanya.

Ohh..jadi namanya Siti?
Busyet.. Bisa-bisanya aku nanya nama ya tadi?
Sumpah!! Itu tadi keceplosan.

"Aku Badrun Mbak." Jawab Badrun sembari tersenyum. Bukan sebuah senyuman manis. Walaupun dipaksakan untuk tersenyum manis, wajah dia sama sekali tidak mendukung dan wajahnya jauh dari kata manis.

"Eh,tadi gimana itu? Kok bisa ingat aku? Padahal aku sendiri gak ingat Mbak Siti pas disana."

"Gimana gue lupa Mas? Situ datang dengan penuh abu. Dari rambut sampai baju putih semua. Dah gitu, Mas nya disitu bukannya ikutan motret malah sibuk membersihkan kamera, ya kan?"
"Abis itu Mas malah makan nasi bungkus sambil lesehan kan?" Lanjut Siti.

Badrun terdiam sembari berpikir mengingat-ingat apa yang dia lakukan di saat itu.

Sial!! Kenapa dia malah ingat hal-hal yang seperti itu?

"Hahahahaha.. Iya Mbak. Mbak Siti kok ingat aja sih?" Tanya Badrun sambil sedikit tertawa.
"Jelaslah gue inget. Tingkah-laku situ kan paling beda hahaha.. " Siti tertawa renyah. Di balik bibir indahnya muncul deretan gigi yang putih bersih dan rapi.

"Mas pindah sini atau hanya sekedar main-main aja di Jakarta?" Siti melanjutkan pertanyaannya.
"Iya Mbak, aku pindah sini. Mbak Siti sendiri gimana? Pindah ke sini juga?"

Siti tersenyum. Mungkin itu hanya sebuah senyuman biasa, tapi bagi Badrun itu merupakan sebuah senyuman yang sangat manis. "Iya, gue udah setahunan lebih di sini Mas."

"Terus ini Mbak mau kemana?" Badrun bertanya dengan hati-hati.
Lagi-lagi Siti melemparkan senyumannya. "Ke Cawang Mas. Nemuin teman di sana."
"Wah.. Kebetulan Mbak, aku mau ke Cililitan. Lumayan ada teman nih, kan ntar buswaynya juga lewat Cawang." Andai saja tidak di dalam bus, mungkin Badrun sudah meloncat kegirangan.

Terima kasih Tuhan. Engkau memang Maha Memberi dan Maha Bercanda.
Maafkan aku Tuhan yang sudah menyalahkan-Mu tadi.


"Hahahaha.. Iya Mas. Ntar buswaynya sama kok. Iya lumayan ada teman ngobrol daripada bengong sendirian di dalam bus." Senyuman manis itu masih setia mengiringi ucapan Siti.

Tanpa mereka sadari, bus yang mereka tumpangi sudah hampir sampai di halte Semanggi. Itu tandanya mereka harus siap-siap untuk turun dan berganti busway.

Siti melangkah ke pintu keluar, diikuti oleh Badrun. Ekor rambut Siti yang diikat ke belakang sedikit menerpa wajah Badrun.

Ckckckck.. Wanginya.
Badrun sedikit terbius oleh rambut Siti.
Rambut. Padahal hanya rambut, tapi itu sudah bisa membuat Badrun sedikit berimajinasi. Entah imajinasi apa yang sedang dia mainkan di dalam otaknya.

Jembatan penyeberangan yang panjang sudah menanti mereka berdua. Sebuah jembatan panjang yang menghubungkan dengan halte busway lainnya. Nampak bangunan bertuliskan Plaza Semanggi berdiri dengan angkuhnya.

Ini bukan untuk pertama kalinya Badrun melintasi jembatan itu. Biasanya dia selalu berjalan sendirian sembari memaki-maki dalam hati.
Setan!! Siapa sih yang buat nih jembatan?
Bisa-bisanya buat jembatan penyeberangan melingkar panjang gak jelas gini?
Mau nyiksa orang apa?

Untuk kali ini Badrun melewati jembatan itu dengan gembira, tak ada umpatan yang muncul di dalam hatinya. Sosok Siti lah yang telah berhasil membuatnya seperti itu.

Langit sudah mulai gelap. Mungkin sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Tapi kendaraan yang lalu-lalang di bawah jembatan itu sepertinya tidak peduli. Benar-benar kota yang padat dan ruwet. Ini benar-benar Metropolitan!

"Disini jadi model juga Mbak?" Badrun mencoba memecah keheningan suasana.
Siti yang berjalan di sebelahnya memandang sembari berkata, " Kadang Mas. Itu kalau lagi ada job. Ya semacam side job gitu lah. Gue kerja di sebuah perusahaan leasing motor kok."

"Emm..maaf Mbak, aku boleh merokok kan? Jujur aja Mbak, mulutku dah asem dari tadi." Badrun bertanya sembari mengeluarkan sebungkus rokok. Rokok yang sebenarnya dia beli secara eceran dari seorang pedagang asongan tadi.
"Silakan Mas, nyante aja lagi." Siti tersenyum ramah.
"Mas jadi fotografer disini?" Siti kembali bertanya.
"Hanya tukang foto keliling Mbak. Kalau fotografer kok kesannya sangar banget." Ujar Badrun sembari mematikan puntung rokoknya di tempat sampah.

Mereka melangkah ke dalam halte busway.
"Beda gimana? Bukannya itu sama?" Tanya Siti penasaran.
Badrun menjelaskan sembari duduk di kursi yang disediakan di dalam halte itu.
"Gini lho Mbak, kalau fotografer itu kesannya mewah, sangar, dan elit. Dan rata-rata fotografer itu sebuah hobi bahkan sebuah lifestyle."
"Naah.. Kalau tukang foto nih, biasanya itu kerjaan atau profesi. Kalau di desa, atau di dalam pasar tradisonal, mereka melihat orang bawa kamera pasti mereka menyebutnya tukang foto. Tapi kadang fotografer itu tidak mau disebut tukang foto karena kesannya rendah. Dan yang jelas, tukang foto itu pasti dibayar Mbak."
"Contoh aja nih Mbak, di sebuah obyek wisata, pasti ada tukang foto kelilingnya kan? Mereka menawarkan foto kepada pengunjung di sana. Dan kebanyakan pengunjung juga menyebut mereka itu tukang foto bukan fotografer. Begitu Mbak menurutku."
"Oalaah.. Ya.. Ya.. Gue paham. Antara hobi dan kerjaan." Siti menganggukkan kepalanya perlahan.
"Gini aja Mbak, orang-orang yang motretin Mbak itu mau gak dipanggil tukang foto? Aku yakin mereka tidak nyaman dengan panggilan itu. Dan aku yakin mereka lebih bangga disebut fotografer." Tambah Badrun.
"Bener juga sih Mas. Lagian rata-rata mereka hanya sekedar hobi. Motret trus abis itu fotonya hanya untuk di upload di facebook trus di tag kemana-mana hahahahaa.." Siti menimpali sembari tertawa.
"Naah.. Seperti itulah kira-kira Mbak."

Waaah.. Sok tau banget aku ya?
Padahal itu ngomong asal-asalan.
Kalau ada fotografer yang tau ini, pasti aku dimaki abis-abisan nih.
Ah.. Biarlah...
Daripada gak ada yang diomongin.

Sebuah bus Transjakarta muncul perlahan-lahan. Bus yang akan menuju ke terminal Pinang Ranti. Dan bus inilah yang akan melintasi daerah Cawang dan PGC.
Tampak penumpang berdesak-desakan di dalam bus. Badrun ragu untuk masuk ke dalam bus itu. Begitu pula dengan Siti yang berdiri di sebelah Badrun.

"Udah Mas, naik aja yuk? Daripada kita kelamaan nunggu disini. Takutnya ntar malah hujan deras dan keburu malam Mas." Siti menggandeng tangan Badrun sembari mengajak masuk ke dalam bus.
Mungkin kata yang tepat itu bukan menggandeng tapi menarik tangan Badrun.
"Oke Mbak.. Baik." Badrun berkata dengan agak kaget. Kaget karena tangannya dipegang oleh wanita yang masih dituduhnya sebagai seorang bidadari itu. Walaupun sebenarnya Badrun merasa tidak nyaman untuk ikut berdesakan di dalam bis. Walaupun sebenarnya dalam hati Badrun lebih memilih untuk menunggu bus selanjutnya.
Tapi apa daya, dia masih ingin bersama dengan wanita itu. Dia tidak ingin melepas wanita itu begitu saja.

Seperti layaknya tumpukan kerupuk yang dipaksakan untuk masuk ke dalam kaleng toplesnya, begitulah gambaran yang tepat kondisi busway saat itu.

Mimpi apa nih aku semalam, kok bisa-bisanya sekarang aku berhimpitan dengan seorang wanita yang benar-benar cantik?
Yang jelas semalam aku tidak mimpi basah.
Ah.. Persetan dengan mimpi semalam!!

Mau tidak mau Badrun harus berhimpitan dengan tubuh Siti. Udara dingin dari Air Conditioner yang menyala di dalam ruangan bus pun tidak berasa. Lagi-lagi rambut Siti mengelus hidung Badrun dan aroma wangi dari rambut Siti masuk ke dalam lubang hidungnya. Kali ini Badrun benar-benar salah tingkah.

"Sorry Mbak." Beberapa kali mengucapkan kata itu karena tanpa sengaja tubuhnya mendorong tubuh langsing Siti.
"Gak apa-apa kok." Jawab Siti tanpa menengok.
"Kadang emang gini, kondisi penumpang yang unpredictable. Kadang sepi seperti tadi, kadang juga penuh sesak seperti ini." Lanjut Siti.

Kalau kondisi seperti ini, wajarlah jika sampai muncul pelecehan seksual. 
Si pelaku mendapatkan kesempatan dan si korban tak bisa berbuat banyak.

"Tolong tahan badan gue ya? Takut ntar gue jatuh ke belakang." Siti mengucap dengan sedikit berbisik.
"Udah.. Tenang aja." Badrun menyoba meyakinkan Siti.
Siti kembali memandang jendela di depannya. Hanya sorot-sorot lampu yang tampak dari jendela besar itu.

Jangankan hanya menahan, menjagamu pun pasti akan kulakukan.
Bahkan aku rela dan siap menjagamu sampai kelak kita berumah-tangga.
Menjaga anak-anak kita sampai jatung ini berhenti berdetak.

Pikiran Badrun kembali mengacau dan melayang-layang seperti sebuah layangan yang terputus dari benangnya. Apalagi di saat punggung Siti menempel di dadanya. Detak jantungnya semakin kencang. Imajinasinya mulai melayang jauh. Entah apalagi yang dia pikirkan. Entah.

Bus merapat ke sebuah halte. Banyak penumpang yang turun di halte itu. Memang ada beberapa penumpang yang masuk ke dalam bus tapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan penumpang yang keluar. Suasana di dalam bus sudah lebih baik dibandingkan tadi. Walaupun begitu, tempat duduk di dalam bus tetap penuh.

"Lumayan ya? Nggak sepenuh tadi." Badrun mencoba memulai percakapan kembali.
Kali ini posisi Siti sudah berhadap-hadapan dengan Badrun sehingga Badrun bisa melihat wajah Siti dengan jelas.
"Iya Mas." Seperti tadi, Siti melemparkan senyumannya ke Badrun.

Gila, tadi sekilas nih orang kukira judes. Kukira galak.
Ternyata anggapanku salah. 
Ekspresi wajahnya yang sedingin es batu sangat kontradiktif dengan sikapnya.
Ramah juga ternyata.

Gugup. Sebenarnya satu kata itu yang tepat untuk menjabarkan kondisi yang dialami oleh Badrun.
Sesungguhnya dia sudah kehabisan topik pembicaraan. Dia sudah kehabisan kata-kata.
Dan untunglah, Siti bukan sosok yang seperti yang dia bayangkan.
Siti seorang yang ramah dan banyak senyum.

"Eh, disini tinggal dimana Mas?" Tanya Siti sambil memandangnya.
"Di deket Pasar Rebo Mbak. Lha Mbak tinggal dimana?" Sebenarnya dari tadi Badrun ingin mengajukan pertanyaan itu, tapi dia merasa sungkan.
"Di daerah Pademangan Mas, depan Mangga Dua. Tau kan?" Mata indah Siti menatap wajah lusuh Badrun.
"Iya tau Mbak, aku pernah ke daerah itu, tapi baru sekali kesana hahahaha.." Badrun mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa kecil.

"Oh ya, waktu dulu itu pas Charity Hunting, Mas ikutan motret kan ya? Walaupun cuman sedikit. Gue masih inget itu karena gue ngerasa Mas ikutan motret gue." Untuk kali ini, mimik muka Siti terlihat agak serius.
"Kayaknya sih iya Mbak, lupa aku Mbak." Badrun mencoba membuka memory di otaknya sembari memandang jendela bus.
"Gue inget kok Mas, Mas ikutan motret dan saat itu Mas yang paling ribut dan suka bikin tertawa fotografer lainnya." Siti kembali bertanya dengan muka serius.
"Kalau masih ada file-file fotonya dan terutama yang ada gue-nya, minta dong Mas?" Kali ini Siti bertanya dengan sedikit senyuman.
"Ntar deh Mbak, aku coba buka-buka lagi filenya itu. Ntar kalau ada, pasti akan kukasih kok."
"Upload di Facebook aja Mbak?" Badrun kembali bertanya.
"Hahahahaha.. Facebook udah gue closed, tutup akun. Malas banget karena terlalu banyak alay di Facebook. Ada yang tiba-tiba ngirim pesan nembak gue lah, padahal kenal aja kagak. Konyol banget kan?" Deretan gigi putih nan rapi muncul saat Siti tertawa.
"Dan masih banyak yang lain yang bisa bikin gue jengkal." Tambah Siti.
"Hahahahahaha... Emang seperti itulah Mbak." Badrun mencoba menimpali.

Sepertinya Facebook identik dengan kaum Alay di negeri ini. Walaupun tidak semua pengguna jejaring sosial itu adalah kaum Alay.
Alay, sebuah fenomena yang ada di Indonesia. Mungkin singkatan dari Anak Layangan atau Anak Lebay. Dengan istilah kasarnya Norak.
Anak-anak yang sering memakai tulisan dengan mencampur-adukkan huruf dan angka seperti layaknya sebuah rumus Kimia.
Begitu pun dengan dandanan dan gaya berpakaian mereka.
Norak. Pokoknya norak!

Tanpa mereka sadari, gedung PGC sudah sedikit terlihat di depan mereka.
Sebuah gedung yang berwarna-warni dan merupakan salah satu pusat perdagangan di Ibu Kota. Pusat Grosir Cililitan, itulah kepanjangannya.

"Eh, gue kan mau ke Cawang, kenapa bisa keterusan sampai ke Cililitan nih?" Siti tersadar bahwa dia sudah agak jauh kebablasan.
"Iya Mbak, udah mau sampai di halte PGC nih. Mau gak mau Mbak harus balik lagi deh ntar. Kayaknya gara-gara aku ngajak ngobrol terus nih Mbak, maaf ya Mbak?" Sejujurnya Badrun agak canggung dan merasa tidak enak hati.

Badrun menggerutu dan diam-diam menyalahkan dirinya sendiri.
Aaahh.. Kenapa tadi aku diam saja?
Kenapa tadi aku tidak memperhatikan jalan?
Kasian dia harus balik lagi.

Siti tersenyum sembari berkata, "Gak Mas, bukan salah Mas. Ini gue yang lupa. Gue yang salah Mas."
"Daah, ayo kita siap-siap. Mas kan turun PGC juga kan?" Tanya Siti.
"Iya Mbak."

Penumpang busway itu seperti berebutan hendak keluar dari bus. Mereka seperti tergesa-gesa. Entah apa yang sedang mereka buru.

"Mas, gue jalan duluan ya? Itu busnya sudah ada ternyata." Ucap Siti sembari memandang salah 1 bus Transjakarta yang berjalan mendekati halte itu.
"Oh iya Mbak, hati-hati ya Mbak?" Sebenarnya Badrun merasa berat untuk melepas kepergiannya, tapi apa daya, Siti memang harus pergi mengejar bus itu.
Sembari berjalan ke dalam bus, Siti berkata, "See you again. Makasih udah nemenin."
Badrun menganggukkan kepala sembari tersenyum. Senyum kecut.

Badrun pun masuk ke dalam bus yang akan mengantarkannya ke daerah Pasar Rebo. Bus itu lumayan penuh, dan sekali lagi Badrun harus berdiri.
Dia menatap kosong ke depan. Pikirannya masih melayang mengingat kejadian tadi.

Apakah aku akan bertemu dengannya lagi?
Bodoh!!! Kenapa tadi aku tidak minta nomor teleponnya?
Bagaimana aku bisa menghubungi dia?
Setolol inikah aku?
Dasar otak mati!!!

Badrun ingin sekali membenturkan kepalanya ke besi pegangan yang ada di dalam bus setelah menyadari kebodohannya itu. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mempertemukan dua insan itu kembali.

Tuhan, semoga Engkau berbaik hati denganku sehingga bisa mempertemukan kami kembali. Please Tuhan.. Please..







No comments:

Post a Comment

Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts