Sunday 14 December 2014

Perjalanan Panjang ke Papua (I)

Angka di timbangan berat badan menunjukkan angka 24 kg. Jangan salah sangka, itu bukan sedang menimbang berat badan seseorang, tapi sedang menimbang berat tas koper yang akan kubawa.
Busyett... Lebih dari 20 kg, harus dikurangi lagi nih..
Akhirnya kubongkar lagi isi tas koper itu dan mengambil beberapa potong celana untuk mengurangi berat isinya supaya maksimal 20 kg.
Kenapa harus 20 kg? Ya.. Karena maskapai penerbangan ini hanya memberikan bagasi gratisan sebanyak 20 kg. Dan akhirnya setelah kira-kira 3 kali kubongkar koper hitam ini, angka di timbangan menunjukkan angka 20 kg.
Ini baru pas!! I am ready to go!!

Papua.. Sebuah nama yang sudah tak asing lagi di telingaku. Di saat masih kecil dulu, aku lebih mengenalnya dengan sebutan Irian Jaya. Papua, suatu daerah yang hanya aku ketahui dari buku-buku yang aku baca dan dari televisi saja. Dan akhirnya akan kuinjakkan kakiku disana.
Jikalau tidak mendapatkan undangan dan sponsor dari seorang teman bernama Albert Abrauw, mungkin sampai saat ini aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di bumi Cendrawasih. Seorang teman yang berprofesi sebagai seorang dosen yang kukenal saat aku masih tinggal di Yogya. Saat itu dia masih menyelesaikan kuliah S-2 nya di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya.
Bagaimana orang konyol seperti dia mengajar jadi dosen? Pastinya lucu banget hahahaha...
Kesehariannya sewaktu masih Yogya sering bertingkah kocak,konyol dan lucu. Walaupun kadang sangar juga, tapi itu sangat jarang. Dan yang pasti, kebaikan dan keramahan khas bangsa ini masih ada di dalam dirinya.

Jakarta malam ini diguyur hujan. Petir mondar-mandir kesana-kemari dengan kilatannya seperti seorang anak yang sedang galau pikirannya. Untunglah aku sudah berada di Airport.
Jabat tangan, berpelukan dan lambaian tangan merupakan sebuah pemandangan yang biasa di sebuah bandara. Beberapa Pramugari melewatiku dengan aroma mewangi sembari bercanda-tawa. Wajah cantik dan tubuh yang proporsional membuat banyak lelaki memainkan imajinasi liarnya saat memandang mereka.

Satu tempat yang kucari saat sudah berada di dalam ruang tunggu bandara,yaitu Smooking Area. Sebuah tempat kecil yang dikelilingi oleh kaca yang diperuntukkan untuk para perokok. Mungkin lebih tepatnya untuk para perokok yang tidak bisa menahan hasrat memainkan asap di mulutnya. Dan tempat itu bagiku malah cenderung mirip sebuah akuarium.
Duduk di pojokan ruangan sembari memegang segelas kecil kopi hitam panas, hanya itu yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu.
Mata ini menyapu isi ruang tunggu yang saat itu agak penuh dengan orang-orang. Sebagian besar sibuk memainkan gadget mereka. Entahlah..apa yang mereka lalukan dengan gadget mereka. Peduli amat!!

"Selamat datang", sapa seorang pramugari dengan kemeja dan rok putih sembari tersenyum ramah di dekat pintu masuk pesawat. Burung besi raksasa ini yang akan membawaku terbang ke tanah Papua.
Dekat jendela merupakan sebuah tempat duduk favoritku saat berada di dalam pesawat karena aku bisa melihat pemandangan di luar dengan luas dan bebas tanpa terganggu wajah-wajah penumpang lainnya.
Laah..mau lihat pemandangan apa aku ini? Ini kan perjalanan di malam hari dan semuanya gelap. Bodoh!!
Hanya beberapa sorot lampu yang tampak dari jendela ini. Dan juga tetesan air hujan yang menghiasi kaca jendela.

Derasnya air hujan yang turun tidak menghalangi pesawat ini untuk tetap bergerak.
Bahkan kilatan-kilatan petir yang terus menyambar sepertinya tidak membuat nyali pilot pesawat itu menjadi ciut.
Pesawat ini tetap bergerak maju perlahan-lahan. 


Setelah berputar-putar di runaway,akhirnya pesawat ini take off juga. Sang petir pun masih setia menampakkan dirinya. Sempat terbesit kekhawatiran andaikata saja kilatan petir itu "menampar" pesawat ini, entah apa yang akan terjadi kemudian. Jatuh kah? Meledak kah? Mendarat darurat kah?
Ahh..Biarlah Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Kupasrahkan semua ini kepada-Mu

Dua orang pramugari sibuk memberikan demostrasi keselamatan kepada penumpang. Ada yang memperhatikan dengan seksama, ada yg sama sekali tidak peduli seakan-akan mereka sudah sangat paham, ada yang memandang dengan muka bingung dan juga ada sudah tertidur.

Tidur, sepertinya itu bukan sebuah pilihan yang buruk untuk menghilangkan kebosanan di dalam tubuh burung besi ini.
Tapi apakah kenyataan yang terjadi sesuai dengan harapanku? Tidak!
Belum sempat mata ini terpejam, seorang pramugari datang memberikan snack dan minuman kepada semua penumpang.
Ahhh... Sial!!

Entah kenapa rasa kantuk itu menghilang setelah kulahap snack itu.
Apakah mata ini harus melek selama perjalanan?

Setelah beberapa saat,akhirnya rasa kantuk yang aku tunggu datang juga. Dan tentu saja aku berharap bisa tidur dengan nyenyak di dalam pesawat ini.
Tapi harapan tinggal harapan. Lagi-lagi kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan.

"Mas, mau mie goreng apa mie rebus?", tanya seorang pramugari yang membuatku kaget.
Siaaall!! Baru merem bentar udah dibangunin lagi
Ingin sekali kumaki-maki dia karena membuatku terbangun,tapi kuurungkan niatku. Aku teringat seseorang yang jauh disana yang kebetulan berprofesi sama dengan wanita ini. Aku yakin sebeneranya dia hanya menjalankan tugasnya melayani semua penumpang.

"Mas? Bagaimana? Mau yang mana?", ucapnya lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
"Ehmmm.. Mie goreng aja deh mbak"
"Minumnya apa Mas? Orange Jus atau yang lain?", tanyanya lagi.
"Orange jus aja Mbak."
Dengan sigap sang pramugari itu memberikan pesanan yang kuminta.
"Silakan Mas",ucapnya sembari tersenyum.
Pramugari, salah satu profesi yang mengharuskan manusia memakai topeng keramah-tamahan dan topeng senyuman. Entah apa yang sedang mereka hadapi, entah masalah apa yang sedang mereka alami, pokoknya di saat bekerja mereka wajib untuk tersenyum ramah kepada semua penumpang.

Akhirnya aku mencoba untuk memejamkan mata kembali setelah memakan itu semua. Dan tak berapa lama kemudian pesawat sampai di Papua. Saat kulihat pemandangan di luar dari jendela, ternyata sudah pagi.
Bersyukur bisa melihat sunrise dari ketinggian. Aku merasa beruntung bisa melihat momen indah ini. Momen yang baru kali ini kualami. Mungkin aku sudah sering melihat pemandangan matahari terbit, tapi baru sekali ini aku melihat pemandangan ini dari ketinggian ribuan kaki.
Subhanallah.. Benar-benar sebuah pemandangan yang indah.
Dan untungnya aku masih membawa sebuah kamera poket sehingga bisa mengabadikan momen indah itu.

Langit sudah mulai terang dan pesawat berputar-putar di atas danau Sentani. Ini pertanda bahwa sebentar lagi pesawat akan landing karena bandara di Jayapura berada di dekat danau Sentani.

Danau Sentani adalah sebuah danau yang terbentang luas di antara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Danau tersebut berada di bawah lereng Pegunungan Cagar Alam Cycloops dan merupakan danau yang terluas di Papua. Menurut sejarah yang pernah kubaca, nama Sentani itu pertama kali disebut oleh seorang Pendeta Kristen BL Bin ketika melaksanakan misionaris di wilayah danau ini pada tahun 1898.

Pesawat berhasil mendarat dengan sempurna dan setelah pesawat diam, ada suara wanita yang dengan lembut mempersilakan para penumpang untuk turun dari pesawat. Senyum manis dari para pramugari melepas kepergian para penumpang. Entah apa yang diucapkan oleh para pramugari. Mungkin kata "terima kasih".

"Taksi Pak?", tiba-tiba seorang lelaki menyapaku di depan bandara.
"Tidak Pak, terima kasih"
Kunyalakan ponselku untuk mencoba menghubungi Albert dan untuk mengabarkan bahwa aku sudah menunggu di depan bandara.
"Sabar bet, jalanan macet nih. Ko tunggu dulu sudah. Sambil liat-liat bandara." Ujar Albert di telpon.
Baaahh...liat-liat bandara? Apa yang bisa ku liat-liat di bandara? Semua pemandangan di bandara sama saja, tidak ada yang jauh berbeda.
Macet? Kukira hanya di Jakarta saja kurasakan yang namanya macet. Ternyata di Papua pun macet.

Sembari merokok kuperhatikan beberapa orang yang lalu-lalang melewatiku. Termasuk seorang bapak yang menawariku taksi tadi. Ada sedikit sesuatu yang terlihat janggal di mataku.
Kenapa bibir mereka terlihat merah? 
Kenapa mereka senang sekali meludah?
Kenapa warna air ludah mereka juga berwarna merah?
Darah kah itu?

"Itu mereka makan pinang Mas", tiba-tiba saja seorang lelaki di sampingku berkata seperti itu seakan-akan dia tahu apa yang kupikirkan.
"Ohh.. Eh, Mas kan yang tadi di sebelah saya kan?" Ya, aku baru sadar ternyata pria itu yang duduk di sebelahku saat di dalam pesawat. Kami memang tidak sempat bicara banyak di dalam pesawat karena dia sudah terlelap dalam tidurnya ketika pesawat baru take off.

"Hahahahaha.. Iya Mas. Kita bareng tadi dari Jakarta" Ujarnya sembari tersenyum.
Ternyata dia bekerja di Jayapura, di salah satu percetakan.
Sepenggal percakapan yang singkat karena dia sudah harus jalan ke Jayapura. Jemputannya sudah datang.

Siaall!! Mana nih orang? Lama banget sih?!
Setengah jam lebih aku menunggu munculnya seorang Albert Abrauw.

Akhirnya muncul juga si Albert. Tak ada perubahan yang signifikan dengan dirinya secara fisik. Masih terlihat pendekar. Pendek dan kekar hahahahah...

"Anjreett..tambah gemuk kau bed huahahaha.. " Itulah kalimat pertama kali muncul dari mulutnya.
Siaall!! Bukannya nanya kabar apa bagaimana, malah ngatain aku tambah gemuk.

Tuhan mempertemukan dua orang kawan lama di hari itu. Ya, aku dan Albert.

"Semua barang yang saya pesan sudah ko bawa to Bed?" Tanya dia sembari memasukkan tas ku ke dalam bagasi Toyota Avanza nya.
"Tenang..semua komplit sesuai dengan yang kau inginkan."

"Jauhkah Bet rumahmu dari sini?" Tanyaku.
"Lumayanlah.. Nikmati aja perjalanannya. Nikmati aja pemandangan yang ada." Ujarnya sembari menjalankan mobilnya.

Kondisi jalan dari bandara Sentani menuju Jayapura ternyata bagus. Begitu juga pemandangan danau Sentani di pinggir jalan itu. Benar-benar sebuah danau yang luas. Di sisi jalan yang lain nampak bukit-bukit bebatuan yang sedang dikeruk. Sepertinya itu untuk pelebaran jalan ini.

Setelah menempuh perjalanan kira-kira setengah jam, akhirnya aku sampai di daerah Waena. Sebuah daerah di Jayapura yang pernah dilanda kerusuhan di tahun 2012.

"Inilah jalur Gazza yang saya ceritakan dulu. Rumah di sebelah kiri itu dulu depannya dibakar." Tunjuk Albert.
"Sebentar lagi kita sampai." Lanjut Albert.

Mobil memasuki sebuah kompleks perumahan. Dan itu ternyata perumahan dosen Universitas Cendrawasih. Sebuah kompleks perumahan yang terletak dekat dengan Universitas Cendrawasih Papua dan masih asri suasananya.

"Naah..ini sa pu rumah." Ujar Albert.
Sebuah rumah yang indah dan terlihat sejuk.
Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku.

Dua ekor anjing menyambutku. Bukan termasuk anjing yang besar tapi suara gonggongannya lumayan nyaring.

Bangsatt!!! Kenapa aku harus bertemu dengan binatang-binatang yang paling kubenci?!!
Ya.. Anjing adalah binatang yang paling kubenci. Atau mungkin lebih tepatnya adalah kutakutkan.
Padahal dua anjing inilah yang kelak akan selalu setia menemaniku disini.

Mama Albert keluar dan menyambut kedatanganku. Begitu juga dengan adik bungsu Albert. Ai namanya. Tapi sayangnya dia sedang sakit dan harus dibawa dengan mobil Ambulans yang sudah menunggu di depan rumah. Dia terkena serangan Malaria.

Malaria merupakan penyakit yang sering menyerang penduduk Papua. Gigitan nyamuk kecil ini bisa membuat seorang manusia yang tinggi besar tak berdaya.

Albert membawaku masuk ke sebuah rumah kecil yang berada di depan rumahnya. Ya, disitulah aku akan tinggal. Sebuah rumah yang terletak di tengah kebun dan dikelilingi pohon-pohon yang rindang.

Ada seorang mahasiswa Albert yang bernama Dulkis, dia membantu Albert membersihkan rumah yang akan kutinggali ini. Mama Albert memasangkan sebuah seprai untuk tempat tidurku dan juga memasangkan kelambu dengan dibantu oleh Dulkis.
Kelambu itu berfungsi untuk melindungi manusia yang tidur di dalamnya dari gigitan nyamuk. Apalagi di Papua ini banyak nyamuk yang berkeliaran dan yang ditakutkan adalah nyamuk malaria.

Aku akan tinggal disini, bersama keluarga Albert selama dua bulan ke depan.
Papua, sebuah tempat yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Sebuah tempat yang jauh dari rumahku. Dan juga sebuah tempat dengan banyak pemandangan yang eksotis.

bersambung...






















Terima kasih banyak untuk Mama Albert, Albert Abrauw, Ai dan Kores Abrauw, Dulkis, John, Engel, Ones, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura dan kawan-kawan yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.


No comments:

Post a Comment

Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts