Monday 16 January 2017

Muslim yang Lucu (2)

Jarum jam dinding sudah menunjukkan di angka 2 tapi mata ini masih susah untuk dipejamkan. Jam 02.00 dan aku masih terjaga. Entah kenapa aku masih teringat tentang ucapan Badrun tadi sore menjelang Maghrib.
Badrun, seorang kawan sejak lama. Seorang yang hanya lulus Sekolah Dasar, tapi memiliki etos kerja yang melebihi seorang sarjana. Pekerja keras yang tangguh dan selalu melakukan pekerjaannya dengan kesungguhan dan keikhlasan.
Siapa sangka kalau dia punya pemikiran seperti itu? Benar-benar tidak bisa kuduga.

"Kang, ada yang gak kalah lucunya lagi nih. Kalau dilihat dari agamanya, dia seorang Muslim. Tapi.."
"Tapi opo tho Drun? Ngomong tuh diselesaikan, jangan sepotong-potong gitu tho?"
 "Iyo,iyo kusambung. Seorang Muslim yang katanya mempunyai Tuhan, tapi entah apa yang dia sembah. Mungkin dia menyembah Allah, tapi tanpa sadar dia juga menyembah kemegahan duniawi, seperti menyembah uang, harta, pangkat, gengsi dan lain-lain Kang."

Waah, berat nih omongan si Badrun.

"Trus lagi nih Kang, pada saat hari raya Idul Fitri ada beberapa umat Muslim yang merayakan dan menyelenggarakan Idul Fitri lebih secara kebudayaan daripada secara agama. Atau dengan kata lain, Idul Fitri masih bersifat kultural daripada religius."

Badrun terdiam sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena terlalu berapi-api ngomongnya.

"Kita lebih menekankan diri pada hura-hura, senang-senang materiel, baju baru, petasan dimana-mana, kemewahan dan konsumsi-konsumsi. Kita kurang menyelam ke dalam ruhani Idul Fitri. Ke dalam usaha keinsyafan baru, kesadaran baru dan kelahiran baru."

Jleeeeb!! Kalimat Badrun serasa menohok diriku. Memang aku seperti aku, memang.

"Ada Muslim yang percaya dengan kekuatan Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa, tapi kocaknya dia juga percaya dengan kekuatan-kekuatan yang lain, mengandalkan kekuatan-kekuatan itu bahkan sampai memuja serta mengagungkannya. Edan tho Kang?"

"Ada manusia yang percaya bahwa musibah atau cobaan itu dari Gusti Allah. Allah yang memberi. Namun, saat dia sudah berhasil mengatasi semua itu, dia lupa bahwa kekuatan yang dia miliki untuk mengatasi semua itu juga dari Allah."

Si Badrun terus aja nyerocos mulutnya.

"Di saat dia susah, di saat dia butuh, dia berdoa terus-menerus memohon kepada-Nya. Bahkan kadang-kadang doa yang diucapkannya sangat ekspresif, dipuitis-puitiskan. Tapi begitu keinginan dan hajatnya sudah dikabulkan-Nya, dia jadi lupa diri. Bahkan bersyukur kepada-Nya pun dia lupa. Atau dengan angkuhnya dia meng-klaim bahwa semua itu hasil jerih-payahnya dan hasil usahanya. Muslim macam apa itu?"

Sungguh, petang itu aku benar-benar menjadi pendengar setia omongan Badrun.

"Kang, semoga kita ini dijadikan-Nya Muslim yang benar-benar Muslim ya Kang?"

Aamiin.






Sunday 15 January 2017

Jangan Seperti Aku

Jangan seperti aku,
Aku ini tahu sedikit tentang sangat sedikit hal,
Aku ini sok ilmiah,
Padahal sebenarnya aku tidak paham betul apa yang disebut ilmiah.

Jangan seperti aku,
Aku suka menggunakan kata ilmiah dan tidak ilmiah,
Aku suka merasa rasional,
Padahal aku tak tahu beda rasionalitas dengan rasionalisme.
Aku tidak mengerti mana batas antara konvensi ilmiah dan konvensi akademis,
Bahkan aku tidak bisa persis melihat jarak antara sebutan "akademis", "ilmiah", dan "intelektual".

Jangan seperti aku,
Yang sok-sokan gemar membaca,
Padahal kalau aku membaca koran,
Aku tak tahu bagaimana membedakan Tajuk Rencana, Features, Berita, Opini, Kolom, Artikel Ilmiah atau Cerpen dan Puisi.

Jangan seperti aku,
Yang gemar membelanjakan uang untuk hal-hal picisan,
Untuk keindahan-keindahan artifisial,
Namun ogah mengeluarkan biaya untuk kemuliaan, kebaikan atau keluhuran.

Jangan seperti aku,
Yang gemar berdoa dan beribadah,
Hanya saat ada butuhnya saja,
Padahal itu sebuah kewajiban.

Jangan seperti aku,
Yang hanya bisa mengobral janji,
Seperti seorang Caleg atau Cagub yang sedang berkampanye di kampung-kampung,
Namun tidak mampu untuk merealisasikan janji-janjinya.

Jangan seperti aku,
Yang ber-Tuhan namun lebih suka menyembah pada harta, uang, kehormatan, pangkat,
Yang Lebih takut lapar, miskin dan sengsara,
Dibandingkan takut dengan dosa.

Jangan seperti aku,
Yang sok-sokan mengamati tingkah laku orang lain,
Nang sok-sokan menilai orang lain,
Namun tidak pernah bercermin,
tidak pernah menyadari kekurangan dan kelemahan diri sendiri.

Pokoknya jangan seperti aku!!

Saturday 14 January 2017

Sayonara My Friend

sayonara my friend


Tuhanlah yang mempertemukan,
dan Tuhanlah yang memisahkan.

Ikhlas tidak ikhlas, rela tidak rela, yang pergi tetap akan pergi, begitu juga denganmu kawan. Setelah sekian lama kita bersama, aku harus merelakan kepergianmu dan itu terasa sangat berat bagiku.
Sekian lamanya engkau menemaniku, suka dan duka kita jalani bersama, tetapi pada akhirnya kita harus berpisah.

Aku tidak akan melupakan saat-saat bersamamu.
Saat pertama kali berjumpa denganmu di Simpang Lima, Semarang. Sebuah perjalanan panjang dari Yogyakarta menuju semarang menggunakan sepeda motor dengan kondisi hujan dan aku sama sekali belum tidur di malam sebelumnya. Saat aku harus menunggumu berjam-jam hingga petang. Tak akan pernah kulupakan kenangan itu.
menanti kedatanganmu


Aku juga masih ingat saat kita berdua bermandikan abu vulkanik Gunung Merapi dan saat kita berjuang menyelamatkan diri dari semburan awan panas.
Aku juga tidak akan begitu saja melupakan saat beberapa orang tersenyum di depanmu, bahkan beberapa artis pun ikut tersenyum di hadapanmu. Sungguh luar biasa.
Banyak kenangan bersamamu, kawan. Dan itu tak akan bisa kulupakan begitu saja. Banyak tempat yang sudah kita singgahi bersama, bahkan sampai ke ujung timur Indonesia, yaitu Papua.
Masih ingatkah dirimu saat kita diremehkan di suatu lomba tapi malah akhirnya kita pulang membawa piagam dan uang sebagai tanda kalau kita menang? I'll always remeber that!

Usiamu memang sudah tidak muda lagi kawan, dengan segala keterbatasanmu, tapi engkau tetap berusaha sekuat tenagamu untuk memperoleh hasil yang bagus. Walaupun engkau pernah sakit, bahkan koma hingga 3 bulan, tapi kau tetap berusaha untuk bangkit lagi.

Maafkan aku kawan yang sudah melanggar janjiku. Janji untuk tidak melepasmu walau apapun itu kondisimu. Maaf...
Maafkan aku kawan yang harus mengorbankanmu hanya karena sebuah kesalahanku, sebuah ketidaktelitianku, dan sebuah keteledoranku.
Maafkan aku kawan, aku harus bertanggungjawab atas kesalahan yang sudah aku buat, itu demi sebuah kepercayaan dan demi sebuah hubungan persahabatan.
Maafkan aku kawan, ternyata pengorbananmu masih belum cukup untuk menebus kesalahanku itu.
Maafkan aku kawan.

Kawan, begitulah manusia, memang susah untuk dipahami. Demi pertemanan dan persahabatan sampai harus mengorbanan teman yang lain.

Terima kasih kawan karena engkau telah setia menemaniku, telah setia mengajariku dan telah memberiku hidup serta membuat hidupku jadi berarti.
Semoga engkau menemukan sosok yang tepat, sosok yang jauh lebih baik daripada aku.
Jangan khawatir kawan, andai kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.

Yes it's time to say auf Wiedersehn
Sayonara and ciao my friend






Wednesday 11 January 2017

Muslim yang Lucu

"Muslim macam apa ini?"
Ucap Badrun sedikit berteriak namun lumayan mengagetkanku.

"Kamu tuh kenapa tho Drun? Waras?"
"Alhamdulillah Wasyukurillah, aku masih waras. Aku masih sehat."
"Apa ya gara-gara aku teriak trus dicap gak waras gitu?"
Badrun malah balik bertanya kepadaku.

"Lha iya tho, perasaan tadi kita lagi ngobrol baik-baik, trus kamu ngeliatin hapemu, lalu diam sejenak trus kok tiba-tiba teriak kayak gitu?"

Memang aku dan Badrun sering menghabiskan sore sembari ngobrol ngalor-ngidul, terkadang ngobrolin politik, ngobrolin masalah ekonomi termasuk naiknya harga cabe, ngobrolin bunga desa sebelah, ngobrolin apa aja yang bisa dijadikan bahan obrolan.

"Jadi gini,"
Badrun berhenti sejenak karena sibuk menyalakan rokok yang ada di mulutnya yang kering.

"Aku melihat ada beberapa kaum Muslim yang lucu."
"Lho, lucu gimana tho Drun? Pelawak kah?"
"Ealaaah..bukan itu!"
"Ada teman nih, teman aku sendiri, dia muslim. Aku sering lihat dia Shalat. Trus dia bilang sendiri kalau dia itu sangat mengidolakan Nabi Besar kita Rasulullah SAW bahkan ingin mengikuti segala sunnah Rasul."
"Lha trus dimana lucunya Drun?"
"Hisssh, makanya jangan dipotong dulu omonganku!! Dengerin dulu!"

Aku terdiam sembari mengangguk tanda mengiyakan.

"Nah, selama hidupnya kan Rasulullah penuh dengan kesederhanaan kan? Jauh dari kata kemewahan duniawi, betul kan?"
Aku mengangguk lagi.
"Tapi dia hidupnya senang dengan kemewahan, dan mungkin merasa tersiksa kalau disuruh hidup sederhana."

"Itu temanmu kan Drun? Udah coba kamu ingatkan?"

"Lha ya sudah tho yo. Sesama Muslim kan aku mencoba mengingatkannya. Ee, malah katanya terserah dia, kan semua ini hasil jerih payah dia sendiri, hasil dia banting tulang, hasil dia kerja keras dan dia berhak untuk menikmati semua hasil kerja kerasnya itu."
"Kan lucu tho Kang? Ngakunya pengikut Rasulullah, Rasulullah saja hidupnya sederhana tapi dia malah suka dengan kemewahan dan malu untuk hidup sederhana. Kocak kan Kang? Hahahaha."

Badrun tertawa terpingkal-pingkal sendiri.

"Ada lagi nih Kang yang lucu."
"Ada teman yang selalu mengucap syukur Alhamdulillah saat kerja kerasnya membuahkan hasil, bahkan dia nulis Alhamdulillah juga di berbagai sosmednya sebagai tanda bersyukur. Aku rasa sih itu bagus. Namun apa yang dia lakukan setelah mengucap Hamdallah itu yang bikin lucu."

Badrun terdiam sebentar lalu melanjutkan perkataannya.
"Masak sehabis bersyukur, dia party ma teman-temannya, pesta, lalu minum alkohol? Kan lucu to Kang? Jangan nanya udah kuingetin apa belum karena pasti udah kuingetin."
"Dia malah ngotot melakukan pembenaran atas perbuatannya itu, katanya dia pantas merayakannya karena setelah semua duka, getir, kerja keras yang mungkin mempertaruhkan segalanya bahkan nyawanya akhirnya dia berhasil. Itung-itung syukuran katanya, kan lucu tho yo? Hahahahaha.."

Lagi-lagi Badrun tertawa terbahak-bahak, bahkan gelas kopi yang dipegangnya sampai nyaris terjatuh.

Aku benar-benar tidak menyangka, kawanku Badrun memiliki pemikiran seperti itu, padahal dia hanya lulusan sekolah dasar.
Dia jauh lebih peduli daripada aku.
Dia jauh lebih agamis daripada aku.















Monday 9 January 2017

Renungan Sang Pecundang dan Pendosa

Lelaki bertampang kusam itu hanya duduk terdiam di pojokan ruangan,
ruangannya yang sempit,
layaknya seekor kecoak yang terjepit tak berdaya,
Dia hanya diam membatu,
sambil sesekali menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terawat.

"Pecundang",
begitulah dia menamai dirinya.

"Aku tak lebih dari seorang pecundang,
seorang yang tak bisa berbuat apa-apa,
atau lebih tepatnya seekor pecundang?"

"Aku selalu berkoar-koar siap membantu, tetapi,
saat aku dibutuhkan,
aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu,
Apa itu bukan pecundang?"

"Aku telah mengecewakan orang-orang terdekatku,
bahkan, aku juga mengacaukan mimpi-mimpi indah mereka,
masih layakkah aku disebut bukan pecundang?"

"Aku selalu berteriak-teriak akan selalu ada untuk mereka,
namun, disaat mereka memerlukan kehadiranku,
aku malah menghilang,
Pecundang macam apa lagi diriku?"

"Aku akan selalu mendoakan kalian,
What? Doa?
Hahahaha...pasti aku sedang bercanda?
Jangankan memohon sesuatu kepada-Nya,
Dengan-Nya pun aku tidak akrab,
Dengan-Nya pun aku tidak dekat,
Bagaimana doaku bisa terkabul?
Tuhan pun pasti akan mentertawakanku,
Selain pecundang, aku juga pendosa besar."

"Memohon kepada Tuhan?
Bahkan terkadang aku sendiri bingung,
apa dan siapa yang kusembah.
Aku memang beragama,
setidaknya itu yang tertulis di secarik kertas identitasku,
tapi kenapa aku sering menyembah uang?
tapi kenapa aku sering menyembah harta?
Menyembah kekuasaan?
Menyembah kemuliaan hidup?
Menyembah derajat?
Itu semuakah Tuhanku?

Dia kembali larut dalam keheningan,
ada rasa penyesalan  yang menyesaki dadanya,
ada pemberontakan di dalam pikirannya,
tapi dia tak tahu harus berbuat apa.

"Sebenarnya aku bukan seorang penakut,
tapi entah kenapa tiba-tiba aku menjadi penakut seperti ini,
Aku takut kehilanganmu,
Aku takut menatap masa depanku,
Aku takut melangkah ke depan,
Aku takut dengan kesendirianku,
Aku takut sengsara,
Aku takut miskin,
Aku takut akan duka,
Aku takut....
Dasar pecundang!!"

Braaaakk
Tiba-tiba lelaki itu meninju tembok yang setia menemaninya.
Sang tembok pun retak dan berdarah.

"Hei, kau yang disana!!
Iya, kau!!
Jawab pertanyaanku!!
Masih pantaskah aku menemanimu?
Masih  layakkah aku mendampingimu?
Pikirkan dahulu baik-baik sebelum engkau menjawab!
Bukankah aku sama sekali tidak berguna?
Bukankah aku sama sekali tidak bisa membantu segala kesusahan?
Bukankah aku hanya bisa membuat masalah?
Bukankah aku bisanya hanya menyusahkan?
Bukankah aku malah membuat sial?"

"Seorang pecundang dan pendosa seperti aku,
sama sekali tidak layak bagi siapapun.
Sama sekali tidak pantas dijadikan kawan."

Dasar pecundang!!
Dasar Pendosa!!






Saturday 7 January 2017

Orang Kecil dan Orang Besar

Sebuah kutipan dari seorang Cak Nun yang saya idolai yang berjudul Kebesaran Orang Kecil 
yang bisa kita jadikan pelajaran.

Kebanyakan orang kecil adalah orang besar. Mereka bukan hanya berhati tabah, bermental baja dan berperasaan terlalu sabar, tapi juga berkemampuan hidup yang luar biasa.
Mereka sanggup dan rela berjualan beberapa botol air untuk penghidupan primernya. Kita pasti juga sanggup berjualan seperti itu, tapi tidak rela.
Orang kecil mampu menjadi kenek angkutan, menjadi satpam, menjadi tukang parkir atau menjadi pembantu rumah tangga seumur hidup.
Sedangkan kita tidak mampu dan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa kita sanggup menjadi kenek atau satpam atau pembantu rumah tangga seumur hidup.
Mereka ikhlas untuk tidak boleh terlalu memikirkan harapan dan masa depan. Sementara kita selalu memamerkan harapan dan masa depan yang kita pidatokan seakan-akan berlaku untuk mereka, padahal hanya berlaku untuk kita.
Mereka adalah orang-orang besar yang berjiwa besar. Mereka senantiasa siap menjalankan perintah kita dan menyesuaikan segala perilakunya dengan kehendak kita.
Kita inilah yang sebenarnya orang kecil. Kita hanya ikhlas kalau kita kaya, sukses dan berkuasa. Kita hanya sanggup menjadi pembesar. Kita hanya sanggup memerintah dan menggantungkan diri pada orang yang kita perintah.
Kita inilah sebenarnya orang kecil. Kita hanya ikhlas kalau kaya, sukses dan berkuasa. Kita hanya sanggup menjadi pembesar dan hanya sanggup memerintah.
Orang kecil seperti yang disebutkan dalam tulisan Cak Nun tersebut sebenarnya orang-orang yang pemberani. Mereka berani menjadi orang kecil.
Coba silakan tanyakan kepada hati nurani kita sendiri, beranikah kita semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah kita menjadi menjadi orang kecil? Kita tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi, tapi tidak takutkah kita untuk menjadi orang kecil? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada kita tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi orang kecil? Menjadi tukang bakso? Menjadi pedagang asongan? Menjadi Satpam? Menjadi Sopir? Menjadi Tukang Parkir?
Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding mereka semua? Karena pasti para orang kecil itu memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti kita semua.
Kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajatnya rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!




Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts