Tuesday 16 December 2014

TransJakarta dan Kisah di Dalamnya

Hujan rintik-rintik melanda daerah Senayan dan sekitarnya sore itu. Dengan langkah gontai, Badrun berjalan menuju halte busway yang ada di depannya. 
Badrun, seorang pemuda desa yang merantau di Ibu Kota demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Dia berasal dari sebuah kota kecil yang berjarak belasan jam dari Jakarta jika ditempuh dengan perjalanan darat. Matanya memandang tajam ke depan. Sesekali dia memandang ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Sebuah pemandangan yang tidak bisa dia lihat di kota asalnya.

Tumben sepi nih gak ada antrian?
Halte Transjakarta dalam kondisi sepi adalah sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya. Hanya ada beberapa orang di dalam halte itu.
Matanya berkeliaran menyapu seisi ruangan halte.
Busyett..masak gak ada ceweknya nih?
Yang bener aja,masak penumpangnya cowok semua?
Suram!! Benar-benar suram!!
Badrun berharap ada setidaknya 1 wanita yang bisa dijadikan hiburan untuk matanya. Tapi sayangnya kenyataan yang ada tidak sesuai dengan harapannya.
Bahkan sampai sebuah busway yang dia tunggu muncul pun tak ada seorang penumpang wanita yang datang.

Laahh..tumben juga nih busway kosong?
Biasanya kan padat berisi kayak sarden?
Tanpa pikir panjang dia langsung duduk di salah 1 bangku yang kosong. Di deretan bangku itu, hanya ada dia yang duduk sendiri.

Matanya kembali berkeliaran menyapu seisi busway. 
Hanya ada 2 wanita,lebih tepatnya ibu-ibu yang duduk bersebelahan dan juga 3 lelaki yang tadi mengantri di halte yang sama dengannya.
Siaall..kenapa gak ada cewek sama sekali sih?
Tuhan..please.. Apakah Kau sedang bercanda dengan diriku?
Sepet mataku bakalan kalau sampai nanti hanya ngeliatin cowok mulu.

Matanya memandang sekilas ke 3 lelaki yang naik bersamaan dengan dirinya. Ada yang bergaya seperti pegawai kantoran. Entah pegawai kantoran mana. 
Padahal ini kan hari Minggu, emangnya ada karyawan yang masuk?
Aneehh..
Satu lagi bergaya Ramires.
Ramires? Ya.. Rambut miring rai (wajah) gak beres. Itu singkatannya. Rambut lurus memanjang di bagian depan dengan ditata miring. Mungkin itu dandanan gaul jaman sekarang. Entahlah.. Dia tidak pernah mengamati mode masa kini.
Nah ini satu lagi bergaya seperti seorang Charlie vokalisnya Setia Band, lengkap dengan jaket andalannya. Dia memakai headset di telinganya. Entah itu headset atau alat bantu pendengaran yang biasa dipakai oleh tuna rungu. Entahlah.
Ahh..bodo amat.

Oh iya, ada satu lagi seorang pria muda yang berpakaian rapi dengan setia berdiri sembari memegangi pintu busway. Dia tetap berdiri walaupun banyak bangku kosong yang bisa dia duduki. 
Ya jelas dia tetap berdiri karena dia adalah kru bus itu. Dan dia akan tetap berdiri sepanjang perjalanan.

Melamun sembari kadang sedikit mengupil, itulah yang hanya bisa Badrun lakukan di dalam bus. Dia meletakkan tasnya di sebuah bangku yang kosong tepat di sebelahnya. Matanya hanya memandang kosong ke jendela dan kadang ke lantai bus yang agak lumayan bersih.

Bus Transjakarta atau yang kadang disebut dengan Busway ini berjalan tertatih menuju halte selanjutnya. 
Entah di daerah mana, entah apa nama halte itu, Badrun sama sekali tidak tahu. Dia belum lama datang di Jakarta, belum ada 6 bulan dia menginjakkan kaki di Ibu Kota ini. Dia belum hapal nama-nama daerah di Jakarta dengan segala keruwetan, kesumpekan dan kemacetannya. 

Pintu busway terbuka otomatis dan ada 2 penumpang masuk dari halte itu. Seorang bapak dan seorang wanita.
Tunggu..wanita?
Badrun mengamati wanita itu sekilas.
Nah ini wanita cantik namanya.
Eh..Itu beneran wanita?
Atau itu seorang bidadari yang sedang menyamar trus naik busway?

Perkiraan tingginya sekitar hampir 170 cm dengan rambut hitam lurus diikat. Dan mungkin juga rambutnya sebahu lebih.
Almost perfect!!

Wanita itu berdiri sejenak sembari memandang sekitarnya. Sepertinya dia mencari kursi kosong. Atau mungkin kursi yang nyaman untuk didudukinya lebih tepatnya.

Ada sebuah pemandangan unik yang membuat Badrun menahan ketawanya, yaitu entah kenapa tiba-tiba saja 3 orang lelaki yang menunggu bersamanya di halte tadi itu berdiri. Seakan-akan mereka hendak mempersilakan wanita itu untuk duduk di tempatnya. 

Tolol!! Padahal jelas-jelas banyak kursi kosong. Ngapain secaper itu?
Badrun hanya bisa tertawa di dalam hati. Dia mengambil tas ranselnya. Dia sadar karena ada sebuah kamera tua di dalam tasnya. Sebuah kamera tua beserta 2 lensanya yang dia gunakan untuk mencari uang. Dipeluknya tas ransel lusuh yang lusuhnya menyerupai wajahnya itu erat-erat. Tas lusuh, sweater lusuh dan muka lusuh, memang itu pasangan yang serasi.

Tanpa disadarinya, wanita itu duduk di sebelahnya. Badrun tidak sadar karena pikirannya masih mentertawakan tingkah kocak 3 pria itu tadi.
"Konyol!!" Gumamnya tanpa sadar dengan mata masih memandang ke lantai busway.

"Kenapa Mas? Situ ngatain gue konyol?" Ucapan wanita itu membuat Badrun tersadar.
"Ehh..enggak Mbak. Jangan salah sangka dulu." Badrun berkata dengan terbata-kata karena rasa kagetnya belum hilang.
"Yang konyol itu 3 cowok tadi Mbak. Yang tiba-tiba berdiri pas Mbak masuk. Kan masih ada beberapa kursi kosong, kenapa mereka harus berdiri mempersilakan Mbak untuk duduk? Bukannya itu konyol mbak?" Badrun menjelaskan dengan ucapan sedikit berbisik. Dia takut ketiga pria itu mendengar apa yang dia ucapkan.
"Ohh.. gitu." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya yang manis.

Badrun tersenyum sembari mencuri pandang ke wanita itu.
Benar-benar cantik. Hidung yang mancung. Kulit yang bersih. Mata yang indah. 
Pokoknya semuanya indah.

Badrun kembali menundukkan kepalanya dan memandang lantai busway. Kali ini dia berpikir keras bagaimana caranya mengajak kenalan wanita itu.
Tuhan sudah mengabulkan permintaanku. Bahkan Tuhan mendatangkan seorang wanita cantik duduk di sebelahku. Tapi kenapa Tuhan tidak sekaligus memberiku ide bagaimana cara untuk mengajaknya berkenalan?
Apakah aku harus menggunakan cara tradisional dengan tiba-tiba menyodorkan tangan kepadanya sembari berucap "Mbak, kenalan yuk" ?
Ide mana ide? Dimanakah dirimu? Sembunyi dimanakah engkau?
Apakah aku akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini?

Ya.. Ini adalah sebuah peluang emas untuk Badrun. Ibarat seorang Striker di dalam sepakbola, dia sedang berhadapan dengan kiper lawan one on one. Bisakah dia mencetak gol atau membuang kesempatan emas ini begitu saja?
Andaikata dia menyia-nyiakan kesempatan ini dan teman-temannya tahu, pastinya dia akan menjadi bahan ejekan. Di-bully habis-habisan.

"Eh Mas, sepertinya gue pernah lihat Masnya deh." Ucapan wanita itu membuat Badrun tersadar dari proses berpikirnya.
 "Kayaknya gue tau Masnya. Ntar coba gue inget-inget dulu ya Mas?" Lanjut wanita itu.

Ada seorang wanita cantik mengenalku? Pernah lihat aku?
Gak salah nih?
Jangan-jangan wanita itu sedang berhalusinasi?
Atau jangan-jangan wanita itu sedang depresi sehingga pikirannya kacau?
Tapi awas aja kalau dia ngomong aku seperti pelawak di tivi!!
Awas kalau dia ngomong aku seperti seorang Kiwil atau Edy Kopi!!

"Eh.. masak sih mbak?" Badrun balik bertanya dengan penuh harap.

Kali ini Badrum benar-benar memandang wanita itu.
Benar-benar wanita yang cantik, bahkan dengan make up seadanya pun dia terlihat sangat cantik.

"Yogya!! Hunting foto untuk amal korban Merapi. Iya, di saat itu gue liat cowok yang mirip ama Mas, itu Mas bukan?" Tanya wanita itu sembari menatap Badrun. Sekarang mereka saling bertatap mata.
"Mas saat itu datang dengan badan penuh dengan abu Merapi." Lanjutnya.

Busyet!! Itu saat bencana letusan gunung Merapi. Itu tahun 2010. 
Iya, saat itu aku masih di Yogya.
Saat itu aku sering naik ke daerah bencana di gunung Merapi.

Badrun terdiam sembari membuka ingatan di dalam otaknya.

Dia yang mana ya? Apa dia salah 1 model di acara itu?
Saat itu kan modelnya banyak dan hanya beberapa yang aku kenal.

"Eh iya Mbak. Mbak ikutan juga saat itu? Jangan-jangan Mbak ini salah 1 modelnya ya saat itu?" Hanya pertanyaan itu yang sanggup diajukan oleh Badrun. Padahal sesungguhnya dia ingin menanyakan nama.

"Iya. Gue saat itu jadi modelnya. Dan saat itu gue masih tinggal di Yogya." Jawab wanita itu sembari memandang jendela di depannya.

"Maaf nih sebelumnya Mbak, aku benar-benar lupa dengan Mbak. Karena saat itu aku hanya nonton doang. Dan juga ingin ketemu dengan teman yang kebetulan juga jadi salah 1 model di saat itu."

"Kok Mbak bisa ingat aku ya?" Badrun lanjut bertanya.

Apa mukaku ini unik banget sampai-sampai gampang diingat orang?
Atau ada sesuatu yang dianggap spesial olehnya sehingga dia tetap mengingat aku?
Ahh..kayaknya gak mungkin aku spesial di depannya.

"Oh ya, maaf nama Mbak siapa ya?" Badrun memberanikan diri bertanya.
"Siti. Masnya siapa?" Wanita itu balik bertanya.

Ohh..jadi namanya Siti?
Busyet.. Bisa-bisanya aku nanya nama ya tadi?
Sumpah!! Itu tadi keceplosan.

"Aku Badrun Mbak." Jawab Badrun sembari tersenyum. Bukan sebuah senyuman manis. Walaupun dipaksakan untuk tersenyum manis, wajah dia sama sekali tidak mendukung dan wajahnya jauh dari kata manis.

"Eh,tadi gimana itu? Kok bisa ingat aku? Padahal aku sendiri gak ingat Mbak Siti pas disana."

"Gimana gue lupa Mas? Situ datang dengan penuh abu. Dari rambut sampai baju putih semua. Dah gitu, Mas nya disitu bukannya ikutan motret malah sibuk membersihkan kamera, ya kan?"
"Abis itu Mas malah makan nasi bungkus sambil lesehan kan?" Lanjut Siti.

Badrun terdiam sembari berpikir mengingat-ingat apa yang dia lakukan di saat itu.

Sial!! Kenapa dia malah ingat hal-hal yang seperti itu?

"Hahahahaha.. Iya Mbak. Mbak Siti kok ingat aja sih?" Tanya Badrun sambil sedikit tertawa.
"Jelaslah gue inget. Tingkah-laku situ kan paling beda hahaha.. " Siti tertawa renyah. Di balik bibir indahnya muncul deretan gigi yang putih bersih dan rapi.

"Mas pindah sini atau hanya sekedar main-main aja di Jakarta?" Siti melanjutkan pertanyaannya.
"Iya Mbak, aku pindah sini. Mbak Siti sendiri gimana? Pindah ke sini juga?"

Siti tersenyum. Mungkin itu hanya sebuah senyuman biasa, tapi bagi Badrun itu merupakan sebuah senyuman yang sangat manis. "Iya, gue udah setahunan lebih di sini Mas."

"Terus ini Mbak mau kemana?" Badrun bertanya dengan hati-hati.
Lagi-lagi Siti melemparkan senyumannya. "Ke Cawang Mas. Nemuin teman di sana."
"Wah.. Kebetulan Mbak, aku mau ke Cililitan. Lumayan ada teman nih, kan ntar buswaynya juga lewat Cawang." Andai saja tidak di dalam bus, mungkin Badrun sudah meloncat kegirangan.

Terima kasih Tuhan. Engkau memang Maha Memberi dan Maha Bercanda.
Maafkan aku Tuhan yang sudah menyalahkan-Mu tadi.


"Hahahaha.. Iya Mas. Ntar buswaynya sama kok. Iya lumayan ada teman ngobrol daripada bengong sendirian di dalam bus." Senyuman manis itu masih setia mengiringi ucapan Siti.

Tanpa mereka sadari, bus yang mereka tumpangi sudah hampir sampai di halte Semanggi. Itu tandanya mereka harus siap-siap untuk turun dan berganti busway.

Siti melangkah ke pintu keluar, diikuti oleh Badrun. Ekor rambut Siti yang diikat ke belakang sedikit menerpa wajah Badrun.

Ckckckck.. Wanginya.
Badrun sedikit terbius oleh rambut Siti.
Rambut. Padahal hanya rambut, tapi itu sudah bisa membuat Badrun sedikit berimajinasi. Entah imajinasi apa yang sedang dia mainkan di dalam otaknya.

Jembatan penyeberangan yang panjang sudah menanti mereka berdua. Sebuah jembatan panjang yang menghubungkan dengan halte busway lainnya. Nampak bangunan bertuliskan Plaza Semanggi berdiri dengan angkuhnya.

Ini bukan untuk pertama kalinya Badrun melintasi jembatan itu. Biasanya dia selalu berjalan sendirian sembari memaki-maki dalam hati.
Setan!! Siapa sih yang buat nih jembatan?
Bisa-bisanya buat jembatan penyeberangan melingkar panjang gak jelas gini?
Mau nyiksa orang apa?

Untuk kali ini Badrun melewati jembatan itu dengan gembira, tak ada umpatan yang muncul di dalam hatinya. Sosok Siti lah yang telah berhasil membuatnya seperti itu.

Langit sudah mulai gelap. Mungkin sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Tapi kendaraan yang lalu-lalang di bawah jembatan itu sepertinya tidak peduli. Benar-benar kota yang padat dan ruwet. Ini benar-benar Metropolitan!

"Disini jadi model juga Mbak?" Badrun mencoba memecah keheningan suasana.
Siti yang berjalan di sebelahnya memandang sembari berkata, " Kadang Mas. Itu kalau lagi ada job. Ya semacam side job gitu lah. Gue kerja di sebuah perusahaan leasing motor kok."

"Emm..maaf Mbak, aku boleh merokok kan? Jujur aja Mbak, mulutku dah asem dari tadi." Badrun bertanya sembari mengeluarkan sebungkus rokok. Rokok yang sebenarnya dia beli secara eceran dari seorang pedagang asongan tadi.
"Silakan Mas, nyante aja lagi." Siti tersenyum ramah.
"Mas jadi fotografer disini?" Siti kembali bertanya.
"Hanya tukang foto keliling Mbak. Kalau fotografer kok kesannya sangar banget." Ujar Badrun sembari mematikan puntung rokoknya di tempat sampah.

Mereka melangkah ke dalam halte busway.
"Beda gimana? Bukannya itu sama?" Tanya Siti penasaran.
Badrun menjelaskan sembari duduk di kursi yang disediakan di dalam halte itu.
"Gini lho Mbak, kalau fotografer itu kesannya mewah, sangar, dan elit. Dan rata-rata fotografer itu sebuah hobi bahkan sebuah lifestyle."
"Naah.. Kalau tukang foto nih, biasanya itu kerjaan atau profesi. Kalau di desa, atau di dalam pasar tradisonal, mereka melihat orang bawa kamera pasti mereka menyebutnya tukang foto. Tapi kadang fotografer itu tidak mau disebut tukang foto karena kesannya rendah. Dan yang jelas, tukang foto itu pasti dibayar Mbak."
"Contoh aja nih Mbak, di sebuah obyek wisata, pasti ada tukang foto kelilingnya kan? Mereka menawarkan foto kepada pengunjung di sana. Dan kebanyakan pengunjung juga menyebut mereka itu tukang foto bukan fotografer. Begitu Mbak menurutku."
"Oalaah.. Ya.. Ya.. Gue paham. Antara hobi dan kerjaan." Siti menganggukkan kepalanya perlahan.
"Gini aja Mbak, orang-orang yang motretin Mbak itu mau gak dipanggil tukang foto? Aku yakin mereka tidak nyaman dengan panggilan itu. Dan aku yakin mereka lebih bangga disebut fotografer." Tambah Badrun.
"Bener juga sih Mas. Lagian rata-rata mereka hanya sekedar hobi. Motret trus abis itu fotonya hanya untuk di upload di facebook trus di tag kemana-mana hahahahaa.." Siti menimpali sembari tertawa.
"Naah.. Seperti itulah kira-kira Mbak."

Waaah.. Sok tau banget aku ya?
Padahal itu ngomong asal-asalan.
Kalau ada fotografer yang tau ini, pasti aku dimaki abis-abisan nih.
Ah.. Biarlah...
Daripada gak ada yang diomongin.

Sebuah bus Transjakarta muncul perlahan-lahan. Bus yang akan menuju ke terminal Pinang Ranti. Dan bus inilah yang akan melintasi daerah Cawang dan PGC.
Tampak penumpang berdesak-desakan di dalam bus. Badrun ragu untuk masuk ke dalam bus itu. Begitu pula dengan Siti yang berdiri di sebelah Badrun.

"Udah Mas, naik aja yuk? Daripada kita kelamaan nunggu disini. Takutnya ntar malah hujan deras dan keburu malam Mas." Siti menggandeng tangan Badrun sembari mengajak masuk ke dalam bus.
Mungkin kata yang tepat itu bukan menggandeng tapi menarik tangan Badrun.
"Oke Mbak.. Baik." Badrun berkata dengan agak kaget. Kaget karena tangannya dipegang oleh wanita yang masih dituduhnya sebagai seorang bidadari itu. Walaupun sebenarnya Badrun merasa tidak nyaman untuk ikut berdesakan di dalam bis. Walaupun sebenarnya dalam hati Badrun lebih memilih untuk menunggu bus selanjutnya.
Tapi apa daya, dia masih ingin bersama dengan wanita itu. Dia tidak ingin melepas wanita itu begitu saja.

Seperti layaknya tumpukan kerupuk yang dipaksakan untuk masuk ke dalam kaleng toplesnya, begitulah gambaran yang tepat kondisi busway saat itu.

Mimpi apa nih aku semalam, kok bisa-bisanya sekarang aku berhimpitan dengan seorang wanita yang benar-benar cantik?
Yang jelas semalam aku tidak mimpi basah.
Ah.. Persetan dengan mimpi semalam!!

Mau tidak mau Badrun harus berhimpitan dengan tubuh Siti. Udara dingin dari Air Conditioner yang menyala di dalam ruangan bus pun tidak berasa. Lagi-lagi rambut Siti mengelus hidung Badrun dan aroma wangi dari rambut Siti masuk ke dalam lubang hidungnya. Kali ini Badrun benar-benar salah tingkah.

"Sorry Mbak." Beberapa kali mengucapkan kata itu karena tanpa sengaja tubuhnya mendorong tubuh langsing Siti.
"Gak apa-apa kok." Jawab Siti tanpa menengok.
"Kadang emang gini, kondisi penumpang yang unpredictable. Kadang sepi seperti tadi, kadang juga penuh sesak seperti ini." Lanjut Siti.

Kalau kondisi seperti ini, wajarlah jika sampai muncul pelecehan seksual. 
Si pelaku mendapatkan kesempatan dan si korban tak bisa berbuat banyak.

"Tolong tahan badan gue ya? Takut ntar gue jatuh ke belakang." Siti mengucap dengan sedikit berbisik.
"Udah.. Tenang aja." Badrun menyoba meyakinkan Siti.
Siti kembali memandang jendela di depannya. Hanya sorot-sorot lampu yang tampak dari jendela besar itu.

Jangankan hanya menahan, menjagamu pun pasti akan kulakukan.
Bahkan aku rela dan siap menjagamu sampai kelak kita berumah-tangga.
Menjaga anak-anak kita sampai jatung ini berhenti berdetak.

Pikiran Badrun kembali mengacau dan melayang-layang seperti sebuah layangan yang terputus dari benangnya. Apalagi di saat punggung Siti menempel di dadanya. Detak jantungnya semakin kencang. Imajinasinya mulai melayang jauh. Entah apalagi yang dia pikirkan. Entah.

Bus merapat ke sebuah halte. Banyak penumpang yang turun di halte itu. Memang ada beberapa penumpang yang masuk ke dalam bus tapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan penumpang yang keluar. Suasana di dalam bus sudah lebih baik dibandingkan tadi. Walaupun begitu, tempat duduk di dalam bus tetap penuh.

"Lumayan ya? Nggak sepenuh tadi." Badrun mencoba memulai percakapan kembali.
Kali ini posisi Siti sudah berhadap-hadapan dengan Badrun sehingga Badrun bisa melihat wajah Siti dengan jelas.
"Iya Mas." Seperti tadi, Siti melemparkan senyumannya ke Badrun.

Gila, tadi sekilas nih orang kukira judes. Kukira galak.
Ternyata anggapanku salah. 
Ekspresi wajahnya yang sedingin es batu sangat kontradiktif dengan sikapnya.
Ramah juga ternyata.

Gugup. Sebenarnya satu kata itu yang tepat untuk menjabarkan kondisi yang dialami oleh Badrun.
Sesungguhnya dia sudah kehabisan topik pembicaraan. Dia sudah kehabisan kata-kata.
Dan untunglah, Siti bukan sosok yang seperti yang dia bayangkan.
Siti seorang yang ramah dan banyak senyum.

"Eh, disini tinggal dimana Mas?" Tanya Siti sambil memandangnya.
"Di deket Pasar Rebo Mbak. Lha Mbak tinggal dimana?" Sebenarnya dari tadi Badrun ingin mengajukan pertanyaan itu, tapi dia merasa sungkan.
"Di daerah Pademangan Mas, depan Mangga Dua. Tau kan?" Mata indah Siti menatap wajah lusuh Badrun.
"Iya tau Mbak, aku pernah ke daerah itu, tapi baru sekali kesana hahahaha.." Badrun mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa kecil.

"Oh ya, waktu dulu itu pas Charity Hunting, Mas ikutan motret kan ya? Walaupun cuman sedikit. Gue masih inget itu karena gue ngerasa Mas ikutan motret gue." Untuk kali ini, mimik muka Siti terlihat agak serius.
"Kayaknya sih iya Mbak, lupa aku Mbak." Badrun mencoba membuka memory di otaknya sembari memandang jendela bus.
"Gue inget kok Mas, Mas ikutan motret dan saat itu Mas yang paling ribut dan suka bikin tertawa fotografer lainnya." Siti kembali bertanya dengan muka serius.
"Kalau masih ada file-file fotonya dan terutama yang ada gue-nya, minta dong Mas?" Kali ini Siti bertanya dengan sedikit senyuman.
"Ntar deh Mbak, aku coba buka-buka lagi filenya itu. Ntar kalau ada, pasti akan kukasih kok."
"Upload di Facebook aja Mbak?" Badrun kembali bertanya.
"Hahahahaha.. Facebook udah gue closed, tutup akun. Malas banget karena terlalu banyak alay di Facebook. Ada yang tiba-tiba ngirim pesan nembak gue lah, padahal kenal aja kagak. Konyol banget kan?" Deretan gigi putih nan rapi muncul saat Siti tertawa.
"Dan masih banyak yang lain yang bisa bikin gue jengkal." Tambah Siti.
"Hahahahahaha... Emang seperti itulah Mbak." Badrun mencoba menimpali.

Sepertinya Facebook identik dengan kaum Alay di negeri ini. Walaupun tidak semua pengguna jejaring sosial itu adalah kaum Alay.
Alay, sebuah fenomena yang ada di Indonesia. Mungkin singkatan dari Anak Layangan atau Anak Lebay. Dengan istilah kasarnya Norak.
Anak-anak yang sering memakai tulisan dengan mencampur-adukkan huruf dan angka seperti layaknya sebuah rumus Kimia.
Begitu pun dengan dandanan dan gaya berpakaian mereka.
Norak. Pokoknya norak!

Tanpa mereka sadari, gedung PGC sudah sedikit terlihat di depan mereka.
Sebuah gedung yang berwarna-warni dan merupakan salah satu pusat perdagangan di Ibu Kota. Pusat Grosir Cililitan, itulah kepanjangannya.

"Eh, gue kan mau ke Cawang, kenapa bisa keterusan sampai ke Cililitan nih?" Siti tersadar bahwa dia sudah agak jauh kebablasan.
"Iya Mbak, udah mau sampai di halte PGC nih. Mau gak mau Mbak harus balik lagi deh ntar. Kayaknya gara-gara aku ngajak ngobrol terus nih Mbak, maaf ya Mbak?" Sejujurnya Badrun agak canggung dan merasa tidak enak hati.

Badrun menggerutu dan diam-diam menyalahkan dirinya sendiri.
Aaahh.. Kenapa tadi aku diam saja?
Kenapa tadi aku tidak memperhatikan jalan?
Kasian dia harus balik lagi.

Siti tersenyum sembari berkata, "Gak Mas, bukan salah Mas. Ini gue yang lupa. Gue yang salah Mas."
"Daah, ayo kita siap-siap. Mas kan turun PGC juga kan?" Tanya Siti.
"Iya Mbak."

Penumpang busway itu seperti berebutan hendak keluar dari bus. Mereka seperti tergesa-gesa. Entah apa yang sedang mereka buru.

"Mas, gue jalan duluan ya? Itu busnya sudah ada ternyata." Ucap Siti sembari memandang salah 1 bus Transjakarta yang berjalan mendekati halte itu.
"Oh iya Mbak, hati-hati ya Mbak?" Sebenarnya Badrun merasa berat untuk melepas kepergiannya, tapi apa daya, Siti memang harus pergi mengejar bus itu.
Sembari berjalan ke dalam bus, Siti berkata, "See you again. Makasih udah nemenin."
Badrun menganggukkan kepala sembari tersenyum. Senyum kecut.

Badrun pun masuk ke dalam bus yang akan mengantarkannya ke daerah Pasar Rebo. Bus itu lumayan penuh, dan sekali lagi Badrun harus berdiri.
Dia menatap kosong ke depan. Pikirannya masih melayang mengingat kejadian tadi.

Apakah aku akan bertemu dengannya lagi?
Bodoh!!! Kenapa tadi aku tidak minta nomor teleponnya?
Bagaimana aku bisa menghubungi dia?
Setolol inikah aku?
Dasar otak mati!!!

Badrun ingin sekali membenturkan kepalanya ke besi pegangan yang ada di dalam bus setelah menyadari kebodohannya itu. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mempertemukan dua insan itu kembali.

Tuhan, semoga Engkau berbaik hati denganku sehingga bisa mempertemukan kami kembali. Please Tuhan.. Please..







Sunday 14 December 2014

Perjalanan Panjang ke Papua (I)

Angka di timbangan berat badan menunjukkan angka 24 kg. Jangan salah sangka, itu bukan sedang menimbang berat badan seseorang, tapi sedang menimbang berat tas koper yang akan kubawa.
Busyett... Lebih dari 20 kg, harus dikurangi lagi nih..
Akhirnya kubongkar lagi isi tas koper itu dan mengambil beberapa potong celana untuk mengurangi berat isinya supaya maksimal 20 kg.
Kenapa harus 20 kg? Ya.. Karena maskapai penerbangan ini hanya memberikan bagasi gratisan sebanyak 20 kg. Dan akhirnya setelah kira-kira 3 kali kubongkar koper hitam ini, angka di timbangan menunjukkan angka 20 kg.
Ini baru pas!! I am ready to go!!

Papua.. Sebuah nama yang sudah tak asing lagi di telingaku. Di saat masih kecil dulu, aku lebih mengenalnya dengan sebutan Irian Jaya. Papua, suatu daerah yang hanya aku ketahui dari buku-buku yang aku baca dan dari televisi saja. Dan akhirnya akan kuinjakkan kakiku disana.
Jikalau tidak mendapatkan undangan dan sponsor dari seorang teman bernama Albert Abrauw, mungkin sampai saat ini aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di bumi Cendrawasih. Seorang teman yang berprofesi sebagai seorang dosen yang kukenal saat aku masih tinggal di Yogya. Saat itu dia masih menyelesaikan kuliah S-2 nya di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya.
Bagaimana orang konyol seperti dia mengajar jadi dosen? Pastinya lucu banget hahahaha...
Kesehariannya sewaktu masih Yogya sering bertingkah kocak,konyol dan lucu. Walaupun kadang sangar juga, tapi itu sangat jarang. Dan yang pasti, kebaikan dan keramahan khas bangsa ini masih ada di dalam dirinya.

Jakarta malam ini diguyur hujan. Petir mondar-mandir kesana-kemari dengan kilatannya seperti seorang anak yang sedang galau pikirannya. Untunglah aku sudah berada di Airport.
Jabat tangan, berpelukan dan lambaian tangan merupakan sebuah pemandangan yang biasa di sebuah bandara. Beberapa Pramugari melewatiku dengan aroma mewangi sembari bercanda-tawa. Wajah cantik dan tubuh yang proporsional membuat banyak lelaki memainkan imajinasi liarnya saat memandang mereka.

Satu tempat yang kucari saat sudah berada di dalam ruang tunggu bandara,yaitu Smooking Area. Sebuah tempat kecil yang dikelilingi oleh kaca yang diperuntukkan untuk para perokok. Mungkin lebih tepatnya untuk para perokok yang tidak bisa menahan hasrat memainkan asap di mulutnya. Dan tempat itu bagiku malah cenderung mirip sebuah akuarium.
Duduk di pojokan ruangan sembari memegang segelas kecil kopi hitam panas, hanya itu yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu.
Mata ini menyapu isi ruang tunggu yang saat itu agak penuh dengan orang-orang. Sebagian besar sibuk memainkan gadget mereka. Entahlah..apa yang mereka lalukan dengan gadget mereka. Peduli amat!!

"Selamat datang", sapa seorang pramugari dengan kemeja dan rok putih sembari tersenyum ramah di dekat pintu masuk pesawat. Burung besi raksasa ini yang akan membawaku terbang ke tanah Papua.
Dekat jendela merupakan sebuah tempat duduk favoritku saat berada di dalam pesawat karena aku bisa melihat pemandangan di luar dengan luas dan bebas tanpa terganggu wajah-wajah penumpang lainnya.
Laah..mau lihat pemandangan apa aku ini? Ini kan perjalanan di malam hari dan semuanya gelap. Bodoh!!
Hanya beberapa sorot lampu yang tampak dari jendela ini. Dan juga tetesan air hujan yang menghiasi kaca jendela.

Derasnya air hujan yang turun tidak menghalangi pesawat ini untuk tetap bergerak.
Bahkan kilatan-kilatan petir yang terus menyambar sepertinya tidak membuat nyali pilot pesawat itu menjadi ciut.
Pesawat ini tetap bergerak maju perlahan-lahan. 


Setelah berputar-putar di runaway,akhirnya pesawat ini take off juga. Sang petir pun masih setia menampakkan dirinya. Sempat terbesit kekhawatiran andaikata saja kilatan petir itu "menampar" pesawat ini, entah apa yang akan terjadi kemudian. Jatuh kah? Meledak kah? Mendarat darurat kah?
Ahh..Biarlah Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Kupasrahkan semua ini kepada-Mu

Dua orang pramugari sibuk memberikan demostrasi keselamatan kepada penumpang. Ada yang memperhatikan dengan seksama, ada yg sama sekali tidak peduli seakan-akan mereka sudah sangat paham, ada yang memandang dengan muka bingung dan juga ada sudah tertidur.

Tidur, sepertinya itu bukan sebuah pilihan yang buruk untuk menghilangkan kebosanan di dalam tubuh burung besi ini.
Tapi apakah kenyataan yang terjadi sesuai dengan harapanku? Tidak!
Belum sempat mata ini terpejam, seorang pramugari datang memberikan snack dan minuman kepada semua penumpang.
Ahhh... Sial!!

Entah kenapa rasa kantuk itu menghilang setelah kulahap snack itu.
Apakah mata ini harus melek selama perjalanan?

Setelah beberapa saat,akhirnya rasa kantuk yang aku tunggu datang juga. Dan tentu saja aku berharap bisa tidur dengan nyenyak di dalam pesawat ini.
Tapi harapan tinggal harapan. Lagi-lagi kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan.

"Mas, mau mie goreng apa mie rebus?", tanya seorang pramugari yang membuatku kaget.
Siaaall!! Baru merem bentar udah dibangunin lagi
Ingin sekali kumaki-maki dia karena membuatku terbangun,tapi kuurungkan niatku. Aku teringat seseorang yang jauh disana yang kebetulan berprofesi sama dengan wanita ini. Aku yakin sebeneranya dia hanya menjalankan tugasnya melayani semua penumpang.

"Mas? Bagaimana? Mau yang mana?", ucapnya lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
"Ehmmm.. Mie goreng aja deh mbak"
"Minumnya apa Mas? Orange Jus atau yang lain?", tanyanya lagi.
"Orange jus aja Mbak."
Dengan sigap sang pramugari itu memberikan pesanan yang kuminta.
"Silakan Mas",ucapnya sembari tersenyum.
Pramugari, salah satu profesi yang mengharuskan manusia memakai topeng keramah-tamahan dan topeng senyuman. Entah apa yang sedang mereka hadapi, entah masalah apa yang sedang mereka alami, pokoknya di saat bekerja mereka wajib untuk tersenyum ramah kepada semua penumpang.

Akhirnya aku mencoba untuk memejamkan mata kembali setelah memakan itu semua. Dan tak berapa lama kemudian pesawat sampai di Papua. Saat kulihat pemandangan di luar dari jendela, ternyata sudah pagi.
Bersyukur bisa melihat sunrise dari ketinggian. Aku merasa beruntung bisa melihat momen indah ini. Momen yang baru kali ini kualami. Mungkin aku sudah sering melihat pemandangan matahari terbit, tapi baru sekali ini aku melihat pemandangan ini dari ketinggian ribuan kaki.
Subhanallah.. Benar-benar sebuah pemandangan yang indah.
Dan untungnya aku masih membawa sebuah kamera poket sehingga bisa mengabadikan momen indah itu.

Langit sudah mulai terang dan pesawat berputar-putar di atas danau Sentani. Ini pertanda bahwa sebentar lagi pesawat akan landing karena bandara di Jayapura berada di dekat danau Sentani.

Danau Sentani adalah sebuah danau yang terbentang luas di antara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Danau tersebut berada di bawah lereng Pegunungan Cagar Alam Cycloops dan merupakan danau yang terluas di Papua. Menurut sejarah yang pernah kubaca, nama Sentani itu pertama kali disebut oleh seorang Pendeta Kristen BL Bin ketika melaksanakan misionaris di wilayah danau ini pada tahun 1898.

Pesawat berhasil mendarat dengan sempurna dan setelah pesawat diam, ada suara wanita yang dengan lembut mempersilakan para penumpang untuk turun dari pesawat. Senyum manis dari para pramugari melepas kepergian para penumpang. Entah apa yang diucapkan oleh para pramugari. Mungkin kata "terima kasih".

"Taksi Pak?", tiba-tiba seorang lelaki menyapaku di depan bandara.
"Tidak Pak, terima kasih"
Kunyalakan ponselku untuk mencoba menghubungi Albert dan untuk mengabarkan bahwa aku sudah menunggu di depan bandara.
"Sabar bet, jalanan macet nih. Ko tunggu dulu sudah. Sambil liat-liat bandara." Ujar Albert di telpon.
Baaahh...liat-liat bandara? Apa yang bisa ku liat-liat di bandara? Semua pemandangan di bandara sama saja, tidak ada yang jauh berbeda.
Macet? Kukira hanya di Jakarta saja kurasakan yang namanya macet. Ternyata di Papua pun macet.

Sembari merokok kuperhatikan beberapa orang yang lalu-lalang melewatiku. Termasuk seorang bapak yang menawariku taksi tadi. Ada sedikit sesuatu yang terlihat janggal di mataku.
Kenapa bibir mereka terlihat merah? 
Kenapa mereka senang sekali meludah?
Kenapa warna air ludah mereka juga berwarna merah?
Darah kah itu?

"Itu mereka makan pinang Mas", tiba-tiba saja seorang lelaki di sampingku berkata seperti itu seakan-akan dia tahu apa yang kupikirkan.
"Ohh.. Eh, Mas kan yang tadi di sebelah saya kan?" Ya, aku baru sadar ternyata pria itu yang duduk di sebelahku saat di dalam pesawat. Kami memang tidak sempat bicara banyak di dalam pesawat karena dia sudah terlelap dalam tidurnya ketika pesawat baru take off.

"Hahahahaha.. Iya Mas. Kita bareng tadi dari Jakarta" Ujarnya sembari tersenyum.
Ternyata dia bekerja di Jayapura, di salah satu percetakan.
Sepenggal percakapan yang singkat karena dia sudah harus jalan ke Jayapura. Jemputannya sudah datang.

Siaall!! Mana nih orang? Lama banget sih?!
Setengah jam lebih aku menunggu munculnya seorang Albert Abrauw.

Akhirnya muncul juga si Albert. Tak ada perubahan yang signifikan dengan dirinya secara fisik. Masih terlihat pendekar. Pendek dan kekar hahahahah...

"Anjreett..tambah gemuk kau bed huahahaha.. " Itulah kalimat pertama kali muncul dari mulutnya.
Siaall!! Bukannya nanya kabar apa bagaimana, malah ngatain aku tambah gemuk.

Tuhan mempertemukan dua orang kawan lama di hari itu. Ya, aku dan Albert.

"Semua barang yang saya pesan sudah ko bawa to Bed?" Tanya dia sembari memasukkan tas ku ke dalam bagasi Toyota Avanza nya.
"Tenang..semua komplit sesuai dengan yang kau inginkan."

"Jauhkah Bet rumahmu dari sini?" Tanyaku.
"Lumayanlah.. Nikmati aja perjalanannya. Nikmati aja pemandangan yang ada." Ujarnya sembari menjalankan mobilnya.

Kondisi jalan dari bandara Sentani menuju Jayapura ternyata bagus. Begitu juga pemandangan danau Sentani di pinggir jalan itu. Benar-benar sebuah danau yang luas. Di sisi jalan yang lain nampak bukit-bukit bebatuan yang sedang dikeruk. Sepertinya itu untuk pelebaran jalan ini.

Setelah menempuh perjalanan kira-kira setengah jam, akhirnya aku sampai di daerah Waena. Sebuah daerah di Jayapura yang pernah dilanda kerusuhan di tahun 2012.

"Inilah jalur Gazza yang saya ceritakan dulu. Rumah di sebelah kiri itu dulu depannya dibakar." Tunjuk Albert.
"Sebentar lagi kita sampai." Lanjut Albert.

Mobil memasuki sebuah kompleks perumahan. Dan itu ternyata perumahan dosen Universitas Cendrawasih. Sebuah kompleks perumahan yang terletak dekat dengan Universitas Cendrawasih Papua dan masih asri suasananya.

"Naah..ini sa pu rumah." Ujar Albert.
Sebuah rumah yang indah dan terlihat sejuk.
Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku.

Dua ekor anjing menyambutku. Bukan termasuk anjing yang besar tapi suara gonggongannya lumayan nyaring.

Bangsatt!!! Kenapa aku harus bertemu dengan binatang-binatang yang paling kubenci?!!
Ya.. Anjing adalah binatang yang paling kubenci. Atau mungkin lebih tepatnya adalah kutakutkan.
Padahal dua anjing inilah yang kelak akan selalu setia menemaniku disini.

Mama Albert keluar dan menyambut kedatanganku. Begitu juga dengan adik bungsu Albert. Ai namanya. Tapi sayangnya dia sedang sakit dan harus dibawa dengan mobil Ambulans yang sudah menunggu di depan rumah. Dia terkena serangan Malaria.

Malaria merupakan penyakit yang sering menyerang penduduk Papua. Gigitan nyamuk kecil ini bisa membuat seorang manusia yang tinggi besar tak berdaya.

Albert membawaku masuk ke sebuah rumah kecil yang berada di depan rumahnya. Ya, disitulah aku akan tinggal. Sebuah rumah yang terletak di tengah kebun dan dikelilingi pohon-pohon yang rindang.

Ada seorang mahasiswa Albert yang bernama Dulkis, dia membantu Albert membersihkan rumah yang akan kutinggali ini. Mama Albert memasangkan sebuah seprai untuk tempat tidurku dan juga memasangkan kelambu dengan dibantu oleh Dulkis.
Kelambu itu berfungsi untuk melindungi manusia yang tidur di dalamnya dari gigitan nyamuk. Apalagi di Papua ini banyak nyamuk yang berkeliaran dan yang ditakutkan adalah nyamuk malaria.

Aku akan tinggal disini, bersama keluarga Albert selama dua bulan ke depan.
Papua, sebuah tempat yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Sebuah tempat yang jauh dari rumahku. Dan juga sebuah tempat dengan banyak pemandangan yang eksotis.

bersambung...






















Terima kasih banyak untuk Mama Albert, Albert Abrauw, Ai dan Kores Abrauw, Dulkis, John, Engel, Ones, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura dan kawan-kawan yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.


Friday 12 December 2014

Mendaki Gunung Prau

"Wooii..abis Jumatan siap-siap ya? Kita ngumpul di rumah Adi" Ujar Aji sembari lewat di depan rumahku. Sosok Aji yang tinggi besar berlalu begitu saja sembari memainkan asap rokoknya.
Tinggi besar? Ya.. Dengan tinggi badan sekitar 175 cm dan berat badan 110 kg apakah itu masih kurang besar? Tapi dengan berat badan sebesar itu,dia tergolong lincah dan kuat. Seperti seorang aktor kungfu Mandarin bernama Sammo Hung hahahahah....
"Oke..sip!!" Jawabku seenaknya.
Ya,kita memang hendak bepergian bersama. Rekreasi. Rekreasi mendaki sebuah gunung yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Dan gunung itu bernama Gunung Prau.

Sehabis shalat Jumat,kulihat semua perlengkapan yang akan kubawa dan sekali lagi kuperiksa baik-baik. Oke..tak ada yang ketinggalan. Pokoknya siap.

Setelah berpamitan dengan seorang wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu, kami berjalan menuju rumah Adi yang mungkin hanya dengan 5 x salto saja sudah sampai.
Kami? Ya! Aku mengajak keponakanku yang sudah besar. Rendra namanya. Dia sudah duduk di bangku SMA. Kelas 3,kalau jaman sekarang mungkin menyebutnya kelas 12.
Ini untuk pertama kalinya Rendra naik gunung. Aku mempunyai alasan kenapa mengajak dia. Sebagai anak gunung,masak dia belum pernah naik gunung? Kan aneh..??
Sedangkan aku sudah beberapa kali naik gunung. Walaupun itu jaman dulu, jaman keemasanku ketika masih muda.
Stop!! Aku masih muda!! Belum bisa dikatakan tua!!
Ada beberapa pelajaran yang aku harap bisa didapatkan oleh keponakanku saat naik gunung. Dan juga untuk sedikit mengurangi kesedihannya.
Kesedihan? Ya! Kesedihan!! 

Dia baru saja ditinggalkan oleh salah 1 eyang kakungnya yang notabene itu Ayahku. Aku melihat sendiri bagaimana tangis kesedihannya saat melihat jenazah ayahku dikebumikan. Dan Rendra lah manusia yang dipilih oleh Tuhan untuk menemani Ayahku menjelang beliau dipanggil menghadap-Nya.
Semoga aku bisa mengajarinya beberapa hal walaupun mungkin aku belum sehebat eyang kakungnya.

"Cari bis yang agak kosong aja biar enak," ujar Adi sambil mengamati kendaraan yang lalu-lalang.
Perjalanan ke Dieng memang harus ditempuh menggunakan bis kecil atau kami biasa menyebutnya mikro. Kami duduk di trotoar sembari menunggu mikro yang tidak terlalu penuh penumpangnya.
Apalagi rombongan ini ada 8 orang dengan masing-masing orang membawa tas ransel yang besar.
Akhirnya ada sebuah bis mikro yang bisa dibilang agak kosong berhenti. Bis itulah yang akan membawa kami ke desa Patak Banteng. Di desa itu ada seorang teman Adi yang menunggu dan ingin ikut serta bersama kami.
Sebuah nama desa yang aneh, Patak Banteng. Kalau diartikan ke dalam Bahasa Indonesia artinya Kepala Banteng. Entah mengapa diberi nama itu. Apa dulunya ada banyak kepala Banteng di situ? Atau bentuk area desa itu yang menyerupai kepala Banteng? Ah..Entahlah..

 Roy, itulah namanya. Dia merupakan kawan dari Adi dan Guruh. Ternyata kami semua sudah ditunggu olehnya. Akhirnya kami rehat sejenak di rumah Roy yang berada di pinggir jalan menuju ke arah Dieng. Keramahan khas Wonosobo menyambut kami.
"Kalian santai-santai aja dulu, kita berangkat nanti jam 5. Aku dah menyiapkan semua peralatan. Doom, sleeping bag, matras dan kompor udah siap semua pokoknya. " Ucap Roy sembari tersenyum ramah.
Setelah berpamitan dengan orang tua Roy, kami berangkat menuju gunung Prau.

Kami berjalan berbaris dan melangkahkan kaki dengan santai. Aku memposisikan diri di belakang supaya bisa mengawasi keponakanku dan juga temanku yang bernama Antok.
"Jalannya santai aja ya? Jangan cepet-cepet ya? Aku takut ntar gak kuat " Kalimat itu yang diucapkan Antok sebelum berangkat dan kalimat itu lah yang kuingat sehingga aku memposisikan diri di belakang.
"Oke Tok, santai aja. Kita gak buru-buru kok. Kita bakalan jalan dengan santai dan pelan-pelan" ujarku sembari menepuk pundaknya.

Dan ternyata kami tidak sendirian. Banyak pendaki yang berjalan ke atas gunung bersamaaan dengan kami.

Dan enaknya berada di posisi ekor rombongan adalah aku bisa sembari memotret.

Entah berjalan kaki berapa lama,akhirnya tiba juga di Pos 1 Pendakian Gunung Prau.
Lumayanlah untuk ngelurusin kaki, mengatur nafas, menenggak air mineral yang sudah kami bawa dan melahap sedikit cemilan utk menambah energi. Tampak langit sudah mulai gelap. Untungnya kami sudah membawa lampu senter sehingga tidak perlu khawatir dengan gelapnya jalan yang akan kita lalui.




Jika berjalan dengan cepat,mungkin 1,5 jam sudah bisa sampai ke puncak gunung.
Buat apa cepat-cepat? Toh kita ingin menikmati perjalanan ini.
Ini bukanlah gunung yang tinggi. Dan sangat tepat untuk para pendaki pemula karena medan yang dilalui tidak terlalu berat.

"Menatap jalan setapak,
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir? "
Entah kenapa lirik lagu dari DEWA 19 yang berjudul Mahameru itu terngiang di telingaku. Mungkin karena jalan setapak yang kulalui dalam gelapnya malam ini.
Ahh..sudahlah

Takterasa akhirnya kami menginjakkan kaki di Pos 2.
Mungkin ini jam 8 malam, mungkin juga jam 9 malam. Ah..bodoh amat!! Buat apa memikirkan waktu yang terus berlalu?
Kembali kami beristirahat untuk yang kesekian kalinya. Mengatur nafas yang terengah-engah dan juga mengisirahatkan kaki sejenak.
Lelah? Pegal? Itu pasti dan tidak bisa dihindari!
Beberapa pendaki melewati kami yang masih duduk lesehan di tanah.
"Permisi Mas?" kalimat itu yang sering diucapkan oleh pendaki yang melintas di depan kami. Dan tentu saja kami jawab "Silakan."

Akhirnya kami sampai juga di puncak gunung Prau. Dan ternyata sudah banyak tenda yang dipasang di sana.
Busyet...ini pasar malamnya pindah kesini?
Puncak gunung Prau sudah penuh dengan tenda. Kami kesulitan mencari tempat yang datar untuk memasang tenda.
Masak kita mau tiduran di tempat yang miring dan tidak rata?
Akhirnya kami pun pasrah dengan tempat seadanya. Yang penting itu bisa untuk memasang 3 buah tenda.

Setelah tenda berhasil kami dirikan semua, kami memasukkan barang-barang ke dalam tenda. Dan tentu saja kami mengaturnya supaya kami tetap bisa tidur di dalam tenda. Aji menyalakan kompor kecil yang dibawa dari bawah. Lumayanlah untuk merebus air dan memasak mie instan yang sudah kami bawa. Tak lupa juga kami siapkan kopi untuk melawan dingin.

Suhu udara di puncak gunung Prau ini memang benar-benar dingin. Diperkirakan di bawah 10 derajat celcius. Memakai jaket lapis 2 pun serasa tidak mempan untuk menahan dinginnya suhu di puncak gunung.
Bahkan minyak bumbu yang di dalam mie instan pun sampai membeku karena dinginnya suhu.






"Mereguk nikmat coklat susu.
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda.
Bersama sahabat mencari damai.
Mengasah pribadi mengukir cinta"

Lagi-lagi lirik lagu Mahameru-nya DEWA 19 muncul di otakku. Sepertinya cocok dengan suasana saat ini. Ini untuk pertama kalinya kami piknik bersama naik ke gunung.

Setelah penantian yang cukup panjang,akhirnya tiba juga saat-saat yang kami tunggu, yaitu SUNRISE. 
Munculnya matahari terbit selalu jadi sebuah pemandangan yang luar biasa bagiku. Benar-benar indah. Sungguh indah ciptaan Tuhan yang satu ini.
Tak hanya kami,ternyata banyak juga para pendaki disini yang menantikan momentum indah itu.
Kamera dan tripot sudah kupersiapkan untuk mengabadikan pemandangan indah itu.
Banyak pendaki yang juga sibuk mengabadikan moment itu. Ada yang memakai ponsel mereka, ada yang memakai kamera poket dan bahkan ada yang memakai kamera seharga puluhan juta rupiah.

Andaikata saja kau ikut bersamaku,kita bisa melihat pemandangan indah ini bersama-sama
Siaaall...kenapa malah wajah wanita itu tiba-tiba nongol di dalam pikiranku??

Bodoh!! Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan dia. Fokus!! Fokus!!

Setelah keadaan sekitar puncak gunung Prau mulai terang, barulah nampak bahwa ternyata puncak gunung ini sudah penuh sesak. Serasa berada di sebuah pasar tradisional hahahahaha...


Subhanallah...
Hanya Engkaulah yang Maha Besar yang mampu membuat semua ini.
Alhamdulillah..
Atas berkah-Mu sehingga aku bisa menikmati keindahan hasil ciptaan-Mu







Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts