Wednesday 9 September 2015

Menghargai Sebuah Pengorbanan

"Pernah gak kamu menolak sebuah bantuan atau pemberian dari teman padahal hal itu sama sekali tidak merugikan atau bikin dosa?", Entah kenapa Bapak tiba-tiba bertanya kepadaku. Beliau masih menatap dengan pandangan mata yang teduh ke arahku sembari memainkan asap rokoknya.
Di sore yang mendung itu, kami nongkrong bareng di teras rumah. Terkadang memang kami duduk di teras sembari membicarakan hal-hal yang enteng.

"Pasti pernah kan?" Tanya Bapak lagi.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala perlahan.

"Nah, pernah gak kamu berpikir kalau penolakanmu itu bisa bikin temanmu sakit hati?"

Busyet daah..kayaknya belum pernah atau bahkan belum sempat aku berpikir sejauh itu.

"Yaa..gak mikir sampai kesana sih Pak."

"Lagian Pak, kalau orang itu ikhlas nawarin sesuatu ke kita andaikata kita tolak kan harusnya dia gak sakit hati?" Aku balik bertanya.

Bapak membetulkan posisi kopiah yang menutupi rambutnya yang sebagian sudah berwarna putih.
"Masalah tulus dan ikhlas itu kan urusan dia ama Tuhannya. Masalah dia dengan hatinya sendiri."

Bapak berhenti sejenak, lalu dia berdiri untuk mengambil beberapa daun kering yang ada di teras rumah kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Duh, lupa belum kusapu nih teras.

"Itu bukan urusan kita." Lanjut Bapak sembari mematikan puntung rokoknya.
"Nah, urusan kita ini adalah bagaimana menjaga perasaan orang lain, terutama teman kita. Janganlah kita sampai menyakiti hati atau perasaan teman kita."

Aduuh..benar-benar bingung aku. Ini maksudnya apa sih? Tujuan pembicaraannya kemana sih? Duuh Pak..jangan buat pusing anakmu ini??!!

"Gini nih, Bapak jelasin." Sepertinya Bapak tahu kebingungan yang ada di dalam otakku yang kualitasnya tak seberapa ini.

"Kamu bisa tahu gak kalau orang itu ikhlas dan tulus? Gak bisa! Yang bisa kamu lakuin hanyalah menebak-nebak."
"Dan belum tentu tebakanmu itu jitu!" Sambung Bapak.

Saat ini aku benar-benar bingung.

Bapak kembali mengambil rokok lalu menyalakannya.
"Pas SD dulu pasti diajarin ama guru untuk menyayangi orang lain dan untuk tidak menyakitinya kan? Semua agama pun pasti akan mengajarkan kasih sayang seperti itu kan?"
"Kalau kita belum bisa berbuat baik untuk orang lain,setidaknya janganlah kita menyakiti orang lain. Hargai dan hormati orang lain, terutama teman."

Ingatanku kembali ke masa sekolah dulu, mencoba mengingat-ingat tentang pelajaran moral di jaman dulu.

"Iya Pak, kurasa semua agama juga pasti mengajarkan kebaikan seperti itu."

Kali ini Bapak berpindah posisi duduknya.

"Naah, itu dia. Balik ke masalah tadi."
 "Masalah teman kita itu tulus atau tidak, ikhlas atau tidaknya itu urusannya dia. Urusan kita adalah menjaga agar kita tidak menyakiti hatinya."

"Kamu bisa tahu gak mana amal perbuatanmu yang pasti diterima Allah? Mana amal ibadahmu yang pasti diterima-Nya? "

Busyet dah.. Pertanyaan macam apa ini?

"Ya gak tahu lah Pak." Jawabku singkat.

"Betul sekali, kita tidak akan bisa tahu itu."
Bapak mematikan rokok di asbak kayu hasil buatannya. Lalu dia melanjutkan lagi kalimatnya.
"Kita sebagai hamba Allah mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada-Nya dengan sebaik mungkin. Masalah amal ibadah kita diterima atau tidaknya, itu hanya Allah yang tahu karena Dialah Yang Maha Tahu Segalanya. Menghormati dan menghargai sesama manusia juga termasuk ibadah. Dalam Islam, selain Habluminallah juga ada Hablumminannas kan?"

"Jangan pernah menyepelekan pemberian orang. Walau terlihat sederhana, walau tak seberapa, baik itu harga maupun jumlahnya, bukan tidak mungkin perjuangan dan pengorbanan besar harus dia lakukan demi itu."
Bapak kembali melanjutkan omongannya.
"Misalnya nih, ada orang yang sedang benar-benar gak punya uang, bahkan dia bingung belum makan sama sekali karena tidak punya uang. Terus ada temannya, misal si A yang memberikan uang Rp 10.000,00 ke dia. Selang beberapa saat, datang si B. Dia memberikan uang kepada orang itu sebesar Rp 50.000,00. Sekilas lebih banyak pemberian si B daripada si A kan?"
"Ada orang yang di dalam kondisi seperti itu berterima kasih dengan kedua temannya itu dengan kadar terima kasih yang sama, tapi ada juga yang berterima kasih dengan kadar yang berbeda. Mungkin karena si B memberikan uang yang jumlahnya lebih besar dari si A lalu dia lebih berterima kasih kepada si B."

Waaah..menarik nih kayaknya.

Bapak melanjutkan pembicaraannya.
"Tapi orang tidak tahu berapa jumlah uang yang sebenarnya dimiliki oleh si A dan si B. Kalau uang si A ternyata hanya Rp 20.000,00 dan uang si B itu Rp 200.000,00 berarti lebih besar pengorbanan siapa? Si A kan?"

Wah..iya ya? Bener juga.

"Maka dari itu, sekecil apapun itu, kita harus menghargai pengorbanan orang lain." Lanjut Bapak.
"Itu tadi hanya contoh kecil, di kehidupan masih banyak contoh yang bisa ditemuin." Sambung Bapak.

Itulah sekilas obrolan saya dengan almarhum ayah saya di suatu sore.
Sebuah obrolan singkat dan ringan tapi bagi saya maknanya sangat dalam. Pemberian orang lain baik itu berupa tenaga ataupun barang pastilah terkandung pengorbanan di dalamnya.
Masalah keikhlasan dan ketulusan memang itu urusan orang itu sendiri dengan hatinya dan dengan Tuhannya.

Dan saya sendiri akan berusaha untuk tidak sakit hati jika pemberian saya ditolak oleh orang lain, sebuah pembelajaran tentang keikhlasan dan ketulusan untuk diri saya sendiri.

Artikel yang saya tulis ini bukan bermaksud untuk "menggurui" atau "sok pintar" dan lain sebagainya. Saya hanya ingin sekedar berbagi cerita. Saya sadar, derajat ilmu agama saya masih sangat rendah.

Semoga bermanfaat untuk semua.










Teruntuk almarhum Ayah saya :
Terima kasih atas semua bimbingan dan ajarannya. 
Tugasmu di dunia fana sudah selesai Pak, biarkan anakmu yang melanjutkan apa yang engkau perjuangkan.





No comments:

Post a Comment

Looped Slider

Total Pageviews

Find Us On Facebook

Random Posts

Social Share

Flickr

Sponsor

Recent comments

About This Blog

Footer

Contact With Us

Name

Email *

Message *

Recent Comments

Popular Posts